(Fasal) menjelaskan najis
dan menghilangkannya. Di dalam sebagian redaksi, fasal ini disebutkan sebelum
“Kitab Sholat”.
|
(فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ النَّجَاسَاتِ
وَإِزَالَتِهَا وَهَذَا الْفَصْلُ مَذْكُوْرٌ فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ قُبَيْلَ كِتَابِ
الصَّلَاةِ
|
Najis secara bahasa adalah
sesuatu yang dianggap menjijikkan. Dan secara syara’ adalah setiap benda yang
haram digunakan secara mutlak dalam keadaan normal beserta mudah untuk
dibedakan, bukan karena kemuliannya, menjijikkannya dan bukan karena
berbahaya pada badan atau akal.
|
وَالنَّجَاسَةُ
لُغَةً الشَّيْئُ الْمُسْتَقْذَرُ وَشَرْعًا كُلُّ عَيْنٍ حَرُمَ تَنَاوُلُهَا عَلَى
الْإِطْلَاقِ حَالَةَ الْإِخْتِيَارٍ مَعَ سُهُوْلَةِ التَّمْيِيِزِ لَا لِحُرْمَتِهَا وَلَا لِإسْتِقْذَارِهَا وَلَا لِضَرَرِهَا فِيْ بَدَنٍ أَوْ
عَقْلٍ
|
Bahasa “mutlak” mencakup
najis sedikit dan banyak.
|
وَدَخَلَ
فِي الْإِطْلَاقِ قَلِيْلُ النَّجَاسَةِ وَكَثِيْرُهَا
|
Dengan bahasa “dalam keadaan
normal” mengecualikan keadaan darurat. Karena sesungguhnya keadaan darurat
memperbolehkan untuk menggunakan najis.
|
وَخَرَجَ
بِالْاِخْتِيَارِ الضَّرُوْرَةُ فَإِنَّهَا تُبِيْحُ تَنَاوُلَ النَّجَاسَةِ
|
Dengan bahasa “mudah dipisahkan”
mengecualikan memakan ulat yang mati di dalam keju, buah dan sesamanya.
|
وَبِسُهُوْلَةِ
التَّمْيِيْزِ أَكْلُ الدُّوْدِ الْمَيِّتِ فِيْ جُبْنٍ وَ فَاكِهَةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ
|
Dengan ungkapan mushannif
“bukan karena kemuliannya” mengecualikan mayatnya anak Adam.
|
وَخَرَجَ
بِقَوْلِهِ لَا لِحُرْمَتِهَا مَيْتَةُ الْآدَمِيِّ
|
Dengan keterangan “tidak
karena menjijikkan” mengecualikan sperma dan sesamanya.
|
وَبِعَدَمِ
الْإِسْتِقْذَارِ الْمَنِيُّ وَنَحْوُهُ
|
Dengan bahasa “tidak karena
membahayakan” mengecualikan batu dan tanaman yang berbahaya pada badan atau
akal.
Maksudnya,
semua barang-barang yang dikecualikan tersebut adalah barang-barang yang
haram digunakan bukan karena najis tapi karena hal-hal yang telah disebutkan.
|
وَبِنَفْيِ
الضَّرَرِ الْحَجَرُ وَالنَّبَاتُ الْمُضِرُّ بِبِدَنٍ أَوْ عَقْلٍ
|
Macam-Macam
Najis
Kemudian mushannif
menyebutkan batasan najis yang keluar dari qubul (jalur depan) dan dubur (jalur belakang) dengan perkataan beliau,
|
ثُمَّ ذَكَرَ
الْمُصَنِّفُ ضَابِطًا لِلنَّجَسِ الْخَارِجِ مِنَ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ بِقَوْلِهِ
|
Setiap benda cair yang
keluar dari dua jalan hukumnya adalah najis. Hal ini mencakup benda yang
biasa keluar seperti kencing dan tanji, dan benda yang jarang keluar seperti
darah dan nanah.
|
(وَكُلُّ مَائِعٍ خَرَجَ مِنَ
السَّبِيْلَيْنِ نَجَسٌ) هُوَ صَادِقٌ بِالْخَارِجِ الْمُعْتَادِ كَالْبَوْلِ وَالْغَائِطِ
وَبِالنَّادِرِ كَالدَّمِّ وَالْقَيْحِ
|
Kecuali sperma dari anak
Adam atau binatang selain anjing, babi dan peranakan keduanya atau salah
satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci.
|
(إَلَّا الْمَنِيَّ) مِنْ آدَمِيٍّ
أَوْ حَيَوَانٍ غَيْرِ كَلْبٍ وَخِنْزِيْرٍ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ
أَحَدِهِمَا مَعَ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ
|
Dengan bahasa “benda cair”,
mengecualikan ulat dan setiap benda padat yang tidak diproses oleh lambung,
maka hukumnya tidak najis, akan tetapi terkena najis yang bisa suci dengan
dibasuh.
|
وَخَرَجَ
بِمَائِعٍ الدُّوْدُ وَكُلُّ مُتَصَلِّبٍ لَا تُحِيْلُهُ الْمَعِدَّةُ فَلَيْسَ
بِنَجَسٍ بَلْ هُوَ مُتَنَجِسٌ يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ
|
Dalam sebagian redaksi diungkapkan
dengan bahasa “setiap perkara yang akan keluar” dengan menggunakan lafadz
fi’il mudlari’
dan membuang lafadz “ma’i’ (benda cair).
|
وَفِيْ بَعْضِ
النُّسَخِ وَكُلُّ مَا يَخْرُجُ بِلَفْظِ الْمُضَارِعِ وَإِسْقَاطُ مَائِعٍ.
|
Cara
Mensucikan Najis
Membasuh semua jenis air
kencing dan kotoran walaupun keduanya dari binatang yang halal dimakan
dagingnya, hukumnya adalah wajib.
|
(وَغَسْلُ جَمِيْعِ الْأَبْوَالِ
وَالْأَرْوَاثِ) وَلَوْ كَانَا مِنْ مَأْكُوْلِ اللَّحْمِ (وَاجِبٌ)
|
Cara membasuh najis jika
terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis ainiyah” adalah dengan
menghilangkan bendanya dan menghilangkan sifat-sifatnya, baik rasa, warna,
atau baunya.
|
وَكَيْفِيَّةُ
غَسْلِ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ مُشَاهَدَةً بِالْعَيْنِ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ
بِالْعَيْنِيَّةِ تَكُوْنُ بِزَوَالِ عَيْنِهَا وَمُحَاوَلَةِ زَوَالِ أَوْصَافِهَا
مِنْ طُعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ
|
Jika rasanya najis masih
ada, maka berbahaya. Atau yang masih tersisa adalah warna atau bau yang sulit
dihilangkan, maka tidak masalah.
|
فَإِنْ بَقِيَ
طُعْمُ النَّجَاسَةِ ضَرَّ أَوْ لَوْنٌ أَوْ رِيْحٌ عَسُرَ زَوَالُهُ لَمْ يَضُرَّ
|
Jika najisnya tidak terlihat
oleh mata dan ini disebut dengan “najis hukmiyah”, maka cukup dengan
mengalirnya air pada tempat yang terkena najis tersebut, walaupun hanya satu
kali aliran.
|
وَإِنْ كَانَتِ
النَّجَاسَةُ غَيْرَ مُشَاهَدَةٍ وَهِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْحُكْمِيَّةِ فَيَكْفِيْ
جَرْيُ الْمَاءِ عَلَى الْمُتَنَجِّسِ بِهَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً
|
Najis
Mukhafafah
Kemudian dengan bahasa
“jenisnya air kencing”, mushannif mengecualikan perkataan beliau yang
berbunyi, “kecuali air kencingnya anak kecil laki-laki yang belum pernah
memakan makanan, maksudnya belum pernah mengkonsumsi makanan dan minuman
untuk penguat badan. Maka sesungguhnya air kencing anak laki-laki tersebut
sudah bisa suci dengan hanya memercikkan air padanya.
|
ثُمَّ اسْتَثْنَى
الْمُصَنِّفُ مِنَ الْأَبْوَالِ قَوْلَهُ (إِلَّا بَوْلَ الصَّبِيِّ الَّذِيْ لَمْ
يَأْكُلِ الطَّعَامَ) أَيْ لَمْ يَتَنَاوَلْ مَأْكُوْلًا وَلَا مَشْرُوْبًا عَلَى
جِهَّةِ التَّغَذِّيِ (فَإِنَّهُ) أَيْ بَوْلَ الصَّبِيِّ (يَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ
عَلَيْهِ)
|
Dalam memercikkan air, tidak
disyaratkan harus sampai mengalir.
|
وَلَا يُشْتَرَطُ
فِي الرَّشِّ سَيَلَانُ الْمَاءِ
|
Jika anak kecil laki-laki
tersebut telah mengkonsumsi makanan untuk penguat badan, maka air kencingnya
harus dibasuh secara pasti.
|
فَإِنْ أَكَلَ
الصَّبِيُّ الطَّعَامَ عَلَى جِهَّةِ التَّغَذِّيِ غُسِلَ بَوْلُهُ قَطْعًا
|
Dengan bahasa “anak
laki-laki”, mengecualikan anak kecil perempuan dan huntsa, maka air kencing keduanya harus dibasuh.
|
وَخَرَجَ
بِالْصَبِيِّ الصَّبِيَّةُ وَالْخُنْثَى فَتُغْسَلُ مِنْ بَوْلِهِمَا.
|
Di dalam membasuh barang
yang terkena najis, disyaratkan airnya yang didatangkan/dialirkan pada barang tersebut jika
airnya sedikit. Jika dibalik, maka barang tersebut tidak suci.
|
وَيُشْتَرَطُ
فِيْ غَسْلِ الْمُتَنَجِّسِ وُرُوْدُ الْمَاءِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ قَلِيْلًا فَإِنْ
عَكَسَ لَمْ يَطْهُرْ
|
Sedangkan
jika
air yang banyak,
maka tidak ada bedanya antara barang yang terkena najis yang datang atau didatangi
air.
|
أَمَّا
الْمَاءُ الْكَثِيْرُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ كَوْنِ الْمُتَنَجِّسِ وَارِدًا أَوْ
مَوْرُوْدًا
|
Najis
Ma’fu
Tidak ada najis yang dima’fu
kecuali darah dan nanah yang sedikit. Maka keduanya dima’fu
di pakaian dan badan, dan sholat yang dilakukan tetap sah walaupun membawa
keduanya.
|
(وَلَا يُعْفَى عَنْ شَيْئٍ مِنَ
النَّجَاسَاتِ إِلَّا الْيَسِيْرُ مِنَ الدَّمِّ وَالْقَيْحِ) فَيُعْفَى عَنْهُمَا
فِيْ ثَوْبٍ أَوْ بَدَنٍ وَتَصِحُّ الصَّلَاةُ مَعَهُمَا
|
Dan kecuali bangkai
binatang
yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat dan semut, ketika
binatang tersebut masuk ke dalam wadah air dan mati di sana. Maka
sesungguhnya bangkai binatang tersebut tidak menajiskan wadah air yang
dimasukinya.
|
(وَ) إِلَّا (مَا) أَيْ شَيْئٌ
(لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ) كَذُبَابٍ وَنَمْلٍ (إِذَا وَقَعَ فِيْ الْإِنَاءِ
وَمَاتَ فِيْهِ فَإِنَّهُ لَا يُنَجِّسُهُ)
|
Dalam sebagian redaksi
menggunakan bahasa “ketika mati di dalam wadah”.
|
وَفِيْ بَعْضِ
النُّسَخِ إِذَا مَاتَ فِي الْإِنَاءِ
|
Perkataan mushannif
“terjatuh sendiri”, memberi pemahaman bahwa sesungguhnya seandainya bangkai binatang yang tidak
memiliki darah mengalir itu dimasukkan ke dalam benda cair, maka berbahaya (menajiskan).
Imam ar Rafi’i mantap dengan pendapat ini di dalam kitab asy Syarh ash
Shaghir, namun beliau tidak menyinggung masalah ini di dalam kitab asy Syarh
al Kabir.
|
وَأَفْهَمَ
قَوْلُهُ وَقَعَ أَيْ بِنَفْسِهِ أَنَّهُ لَوْ طُرِحَ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ فِيْ الْمَائِعِ ضَرَّ وَهُوَ
مَاجَزَمَ بِهِ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِهَذِهِ
الْمَسْأَلَةِ فِي الْكَبِيْرِ
|
Ketika bangkai binatang yang
tidak memiliki darah mengalir itu berjumlah banyak dan merubah sifat cairan
yang dimasukinya, maka bangkai itu menajiskan benda cair
tersebut.
|
وَإِذَا
كَثُرَتْ مَيْتَةُ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ وَغَيَّرَتْ مَا وَقَعَتْ فِيْهِ
نَجَّسَتْهُ
|
Ketika bangkai ini muncul
dari benda cair seperti ulatnya cukak dan buah-buahan, maka
tidak menajiskan cairan tersebut secara pasti.
|
وَإِذَا
نَشَأَتْ هَذِهُ الْمَيْتَةُ مِنَ الْمَائِعِ كَدُوْدِ خَلٍّ وَفَاكِهَةٍ لَمْ تُنَجِّسْهُ
قَطْعًا
|
Di samping apa yang telah
dijelaskan oleh mushannif, masih ada beberapa
permasalahan yang dikecualikan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas
keterangannya, sebagiannya telah dijelaskan di dalam “Kitab Thaharah”.
|
وَيُسْتَثْنَى
مَعَ مَا ذَكَرَهَا مَسَائِلُ مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمَبْسُوْطَاتِ سَبَقَ بَعْضُهَا
فِيْ كِتَابِ الطَّهَارَةِ
|
Najis
Mughaladhah
Semua binatang hukumnya suci
kecuali anjing, babi, dan peranakan keduanya atau salah satunya hasil
perkawinan dengan binatang yang suci.
|
(وَالْحَيَّوَانُ كُلُّهُ طَاهِرٌ
إِلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيْرَ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا) مَعَ حَيَّوَانٍ طَاهِرٍ
|
Ungkapan mushannif ini
mencakup terhadap sucinya ulat yang muncul dari najis, dan memang demikinlah
hukumnya.
|
وَعِبَارَتُهُ
تَصْدُقُ بِطَهَارَةِ الدُّوْدِ الْمُتَوَلِّدِ مِنَ النَّجَاسَةِ وَهُوَ كَذَلِكَ
|
Bangkai, semuanya hukumnya
adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang dan anak Adam. Dalam sebagian
redaksi diungkapkan dengan bahasa “ibn Adam”, maksudnya bangkai masing-masing
barang di atas, maka sesungguhnya hukumnya suci.
|
(وَالْمَيْتَةُ كُلُّهَا نَجَسَةٌ
إِلَّا السَّمَكَ وَالْجَرَادَ وَالْآدَمِيَّ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ ابْنُ آدَمَ
أَيْ مَيْتَةَ كُلٍّ مِنْهَا فَإِنَّهَا طَاهِرَةٌ
|
Wadah yang terkena liur
anjing atau babi, maka harus dibasuh tujuh kali dengan menggunakan air suci
mensucikan, salah satu basuhan dicampur dengan debu suci mensucikan yang
merata ke seluruh tempat yang terkena najis.
|
(وَيَغْسِلُ الْإِنَاءَ مِنْ وُلُوْغِ
الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ سَبْعَ مَرَّاتٍ) بِمَاءٍ طَهُوْرٍ (إِحَدَاهُنَّ) مَصْحُوْبَةٌ
(بِالتُّرَابِ) الطَّهُوْرِ يَعُمُّ الْمَحَلَّ الْمُتَنَجِّسَ
|
Jika barang yang terkena
najis tersebut dibasuh dengan air mengalir yang keruh, maka cukup mengalirnya
air tersebut tujuh kali tanpa harus dicampur dengan debu.
|
فَإِنْ كَانَ
الْمُتَنَجِّسُ بِمَا ذُكِرَ فِيْ مَاءٍ جَارٍ كَدَرٍ كَفَى مُرُوْرُ سَبْعِ جَرَيَاتٍ
عَلَيْهِ بِلَا تَعْفِيْرٍ
|
Ketika benda najis anjing
tersebut belum hilang kecuali dengan enam basuhan semisal, maka
seluruh basuhan dianggap satu kali basuhan.
|
وَإِذَا
لَمْ تَزُلْ عَيْنُ النَّجَاسَةِ الْكَلْبِيَّةِ إِلَّا بِسِتِّ غَسَلَاتٍ مَثَلًا
حُسِبَتْ كُلُّهَا غَسْلَةً وَاحِدَةً
|
Tanah yang berdebu -yang terkena
najis ini- tidak wajib diberi debu -saat membasuhnya- menurut qaul al ashah.
|
وَالْأَرْضُ
التُّرَابِيَّةُ لَا يَجِبُ التُّرَابُ فِيْهَا عَلَى الْأَصَحِّ.
|
Najis
Mutawasithah
Untuk najis-najis yang lain,
maka cukup dibasuh satu kali yang di alirkan pada najis tersebut. Dalam
sebagian redaksi menggunakan bahasa “marratan (sekali)”. Tiga kali (ats
tsalatsu) basuhan adalah lebih utama. Dalam sebagian redaksi menggunakan
bahasa “ats tsalatsatu” dengan menggunakan ta’ diakhirnya.
|
(وِيُغْسَلُ مِنْ سَائِرِ) أَيْ
بَاقِي (النَّجَاسَاتِ مَرَّةً وَاحِدَةً) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَرَّةً (تَأْتِيْ
عَلَيْهِ وَالثَّلَاثُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَالثَّلَاثَةُ بِالتَّاءِ (أَفْضَلُ)
|
Air Sisa
Basuhan Najis
Ketahuilah sesungguhnya air
basuhan najis setelah sucinya tempat yang dibasuh, hukumnya adalah suci, jika
air tersebut terpisah dari tempat yang dibasuh dalam keadaan tidak berubah
dan tidak bertambah ukurannya dari kadar ukuran sebelumnya besertaan menghitung kadar air yang
diserap oleh tempat yang dibasuh.
|
وَاعْلَمْ
أَنَّ غَسَالَةَ النَّجَاسَةِ بَعْدَ طَهَارَةِ الْمَحَلِّ الْمَغْسُوْلِ طَاهِرَةٌ
إِنِ انْفَصَلَتْ غَيْرَ مُتَغَيِّرَةٍ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهَا بَعْدَ انْفِصَالِهَا
عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مِقْدَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ الْمَغْسُوْلُ مِنَ
الْمَاءِ
|
Hal ini jika air basuhan
tersebut tidak mencapai dua qullah.
Jika mencapai dua qullah, maka
syaratnya adalah tidak berubah.
|
هَذَا إِنْ
لَمْ تَبْلُغْ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّ بَلَغَتْهُمَا فَالشَّرْطُ عَدَمُ التَّغَيُّرِ
|
Khamer
Menjadi Cuka
Setelah mushannif selesai
menjelaskan najis yang bisa suci dengan dibasuh, maka beliau
berlanjut menjelaskan najis yang suci dengan istihalah, yaitu perubahan sesuatu dari satu sifat ke sifat yang
lain. Beliau berkata,
|
وَلَمَّا
فَرَغَ الْمُصَنِّفُ مِمَّا يَطْهُرُ بِالْغَسْلِ شَرَعَ فِيْمَا يَطْهُرُ بِالْاِسْتِحَالَةِ
وَهِىَ انْقِلَابُ الشَّيْئِ مِنْ صِفَةٍ إِلَى صِفَةٍ أُخْرَى فَقَالَ.
|
Ketika khamer telah menjadi
cuka dengan sendirinya, maka hukumnya suci. Khamer adalah minuman yang
terbuat dari air perasan anggur. Baik khamer tersebut dimuliakan ataupun
tidak. Makna takhallalat adalah
khamer menjadi cuka.
|
(إِذَا تَخَلَّلَتِ الْخَمْرَةُ)
وَهِيَ الْمُتَّخَذَةُ مِنْ مَاءِ الْعِنَبِ مُحْتَرَمَةً كَانَتِ الْخَمْرَةُ أَمْ
لَا وَمَعْنَى تَخَلَّلَتْ صَارَتْ خَلًّا وَكَانَتْ صَيْرُوْرَتُهَا خَلًّا (بِنَفْسِهَا
طَهُرَتْ)
|
Begitu juga hukumnya suci,
seandainya ada khamer yang berubah menjadi cuka sebab dipindah dari tempat
yang terkena matahari ke tempat yang teduh dan sebaliknya.
|
وَكَذَا
لَوْ تَخَلَّلَتْ بِنَقْلِهَا مِنْ شَمْسٍ إِلَى ظِلٍّ وَ عَكْسِهِ
|
Jika khamer berubah menjadi
cuka tidak dengan sendirinya, bahkan menjadi cuka dengan memasukkan sesuatu
ke dalamnya, maka khamer tersebut tidak suci.
|
(وَإِنْ) لَمْ تَتَخَلَّلِ الْخَمْرَةُ
بِنَفْسِهَا بَلْ (تَخَلَّلَتْ بِطَرْحِ شَيْئٍ فِيْهَا لَمْ تَطْهُرْ)
|
Ketika khamer menjadi suci,
maka wadahnya pun menjadi suci karena mengikut pada khamernya.
|
وَإِذَا
طَهُرَتِ الْخَمْرَةُ طَهُرَ دُنُّهَا تَبْعًا لَهَا.
|
(Sumber : Kitab Fathul Qorib)
Baca juga artikel kami lainnya : Tugas Para Malaikat
assalamu 'alaikum
BalasHapussyukran artikelnya. insya Allah bermanfaat :)