BAB TAYAMMUM

(Fasal) menjelaskan tentang tayammum.

(فَصْلٌ) فِي التَّيَمُّمِ
Dalam sebagian redaksi matan, mendahulukan fasal ini dari pada fasal sebelumnya.

وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ تَقْدِيْمُ هَذَا الْفَصْلِ عَلَى الَّذِيْ قَبْلَهُ
Tayammum secara bahasa bermakna menyengaja. Dan secara syara’ adalah mendatangkan debu suci mensucikan pada wajah dan kedua tangan sebagai pengganti dari wudlu’, mandi atau membasuh anggota dengan syarat-syarat tertentu.

وَالتَّيَمُّمُ لُغَةً الْقَصْدُ وَشَرْعًا إِيْصَالُ تُرَابٍ طَهُوْرٍ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَّيْنِ بَدَلًا عَنْ وُضُوْءٍ أَوْ غُسْلٍ أَوْ غَسْلِ عُضْوٍ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ



Syarat-Syarat Tayammum

Syarat-syarat tayammum ada lima perkara. Dalam sebagian redaksi matan menggunakan bahasa “khamsu khishalin (lima hal).
(وَشَرَائِطُ التَّيَمُّمِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ:) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ خَمْسُ خِصَالٍ
Salah satunya adalah ada udzur sebab bepergian atau sakit.

أَحَدُهَا (وُجُوْدُ الْعُذْرِ بِسَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ
Yang kedua adalah masuk waktu sholat. Maka tidak sah tayammun untuk sholat yang dilakukan sebelum masuk waktunya.
وَ) الثَّانِيْ (دُخُوْلُ وَقْتِ الصَّلَاةِ) فَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمُ لَهَا قَبْلَ دُخُوْلِ وَقْتِهَا
Yang ketiga adalah mencari air setelah masuknya waktu sholat, baik diri sendiri atau orang lain yang telah ia beri izin. Maka ia harus mencari air di tempatnya dan teman-temannya.

(وَ) الثَّالِثُ (طَلَبُ الْمَاءِ) بَعْدَ دُخُوْلِ الْوَقْتِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَنْ أَذِنَ لَهُ فِيْ طَلَبِهِ فَيَطْلُبُ الْمَاءَ مِنْ رَحْلِهِ وَرُفْقَتِهِ
Jika ia sendirian, maka cukup melihat ke kanan kirinya dari ke empat arah, jika ia berada di dataran yang rata.

فَإِنْ كَانَ مُنْفَرِدًا نَظَرَ حَوَالَيْهِ مِنَ الْجِهَاتِ الْأَرْبَعِ إِنْ كَانَ بِمُسْتَوٍ مِنَ الْأَرْضِ
Jika ia berada di tempat yang naik turun, maka harus berkeliling ke tempat yang terjangkau oleh pandangan matanya.

فَإِنْ كَانَ فِيْهَا ارْتِفَاعٌ وَانْخِفَاضٌ تَرَدَّدَ قَدْرَ نَظَرِهِ
Dan yang ke empat adalah sulit menggunakan air.
(وَ) الرَّابِعُ (تَعَذُّرُ اسْتِعْمَالِهِ) أَيِ الْمَاءِ
Dengan gambaran jika menggunakan air, ia khawatir akan kehilangan nyawa atau fungsi anggota badan.

بِأَنْ يَخَافَ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ عَلَى ذَهَابِ نَفْسٍ أَوْ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ
Termasuk udzur adalah seandainya di dekatnya ada air, namun jika mengambilnya, ia khawatir pada dirinya dari binatang buas atau musuh, atau khawatir hartanya akan diambil oleh pencuri atau orang yang ghasab.

وَيَدْخُلُ فِي الْعُذْرِ مَا لَوْ كَانَ بِقُرْبِهِ مَاءٌ وَخَافَ لَوْ قَصَدَهُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ سَبُعٍ أَوْ عَدُوٍّ أَوْ عَلَى مَالِهِ مِنْ سَارِقٍ أَوْ غَاصِبٍ
Di dalam sebagian redaksi matan, tepat di dalam syarat ini, di temukan tambahan setelah syarat sulit menggunakan air, yaitu membutuhkan air setelah berhasil mendapatkannya.

وَيُوْجَدُ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ فِيْ هَذَا الشَّرْطِ زِيَادَةٌ بَعْدَ تَعَذُّرِ اسْتِعْمَالِهِ وَهِيَ (وَإِعْوَازُهُ بَعْدَ الطَّلَبِ).
Yang kelima adalah debu suci, maksudnya debu suci mensucikan dan tidak basah.

(وَ) الْخَامِسُ (التُّرَابُ الطَّاهِرُ) أَيِ الطَّهُوْرُ غَيْرُ الْمَنْدِيِّ
Debu suci mencakup debu hasil ghasab dan debu kuburan yang tidak digali.

وَيَصْدُقُ الطَّاهِرُ بِالْمَغْصُوْبِ وَتُرَابِ مَقْبَرَةٍ لَمْ تُنْبَشْ
Di dalam sebagian redaksi matan, ditemukan tambahan di dalam syarat ini, yaitu debu yang memiliki ghubar. Sehingga, jika debu tersebut tercampur oleh gamping atau pasir, maka tidak diperbolehkan.

وَيُوْجَدُ فِيْ بَعْضِ الْنَسْخِ زِيَادَةٌ فِيْ هَذَا الشَّرْطِ وَهِيَ (الَّذِيْ لَهُ غُبَارٌ فَإِنْ خَالَطَهُ جَصٌّ أَوْ رَمْلٍ لَمْ يَجُزْ)
Dan ini sesuai dengan pendapat imam an Nawawi di dalam kitab Syarh Muhadzdzab dan at Tashhih.

وَهَذَا مُوَافِقٌ لِمَا قَالَهُ النَّوَاوِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَالتَّصْحِيْحِ
Akan tetapi di dalam kitab ar Raudlah dan al Fatawa, beliau memperbolehkan hal itu.

لَكِنَّهُ فِي الرَّوْضَةِ وَالْفَتَاوَى جَوَّزَ ذَلِكَ
Dan juga sah melakukan tayammum dengan pasir yang ada ghubar-nya.

وَيَصِحُّ التَّيَمُّمُ أَيْضًا بَرَمَلٍ فِيْهِ غُبَارٌ
Dengan ungkapan mushannif “debu”, mengecualikan selain debu seperti gamping dan remukan genteng.

وَخَرَجَ بِقَوْلِ الْمُصَنِّفِ التُّرَابُ غَيْرُهُ كَنَوْرَةٍ وَسَحَاقَةِ خَزَفٍ
Dikecualikan dengan debu yang suci yaitu debu najis.

وَخَرَجَ بِالطَّاهِرِ النَّجَسُ
Adapun debu musta’mal, maka tidak syah digunakan tayammum.
وَأَمَّا التُّرَابُ الْمُسْتَعْمَلُ فَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمُ بِهِ

Fardlu-Fardlu Tayammum

Fardlunya tayammum ada empat perkara.

(وَفَرَائِضُهُ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ:)
Salah satunya adalah niat. Dalam sebagian redaksi matan, menggunakan bahasa “empat pekerjaan, yaitu niat fardlu”.

أَحَدُهَا (النِّيَّةُ) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ أَرْبَعُ خِصَالٍ نِيَّةُ الْفَرْضِ
Jika orang yang melakukan tayammum niat fardlu dan sunnah, maka dia diperkenankan melakukan keduanya.

فَإِنْ نَوَى الْمُتَيَمِّمُ الْفَرْضَ وَالنَّفْلَ اسْتَبَاحَهُمَا
Atau niat fardlu saja, maka di samping fardlu tersebut, ia juga diperkenankan melakukan ibadah sunnah dan sholat jenazah. Atau niat sunnah saja, maka ia tidak diperkenankan melakukan fardlu besertaan dengan ibadah sunnah, begitu juga seandainya ia niat sholat saja.

أَوِ الْفَرْضَ فَقَطْ اسْتَبَاحَ مَعَهُ النَّفْلَ وَصَلَاةَ الْجَنَائِزِ أَيْضًا أَوِ النَّفْلَ فَقَطْ لَمْ يَسْتَبِحْ مَعَهُ الْفَرْضَ وَكَذَا لَوْ نَوَى الصَّلَاةَ
Dan wajib membarengkan niat tayammum dengan memindah debu pada wajah dan kedua tangan, dan melanggengkan niat hinggah mengusap sebagian wajah.

وَيَجِبُ قَرْنُ نِيَّةِ التَّيَمُّمِ بِنَقْلِ التُّرَابِ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَّيْنِ وَاسْتِدَامَةِ هَذِهِ النِّيَّةِ إِلَى مَسْحِ شَيْئٍ مِنَ الْوَجْهِ
Seandainya dia hadats setelah memindah debu, maka tidak diperkenankan mengusap dengan debu tersebut, akan tetapi harus memindah / mengambil debu yang lain.

وَلَوْ أَحْدَثَ بَعْدَ نَقْلِ التُّرَابِ لَمْ يَمْسَحْ بِذَلِكَ التُّرَابِ بَلْ يَنْقُلُ غَيْرَهُ
Rukun yang kedua dan ketiga adalah mengusap wajah dan mengusap kedua tangan beserta kedua siku.

(وَ) الثَّانِيْ وَالثَّالِثُ (مَسْحُ الْوَجْهِ وَمَسْحُ الْيَدَّيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ)
Dalam sebagian redaksi matan menggunakan bahasa “hingga kedua siku”.

وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
Mengusap kedua bagian ini (wajah & kedua tangan) dengan dua pukulan pada debu.

وَيَكُوْنُ مَسْحُهُمَا بِضَرْبَتَيْنِ
Seandainya ia meletakkan tangannya ke debu yang lembut kemudian ada debu yang menempel pada tangannya tanpa memukulkan tangan, maka sudah dianggap cukup.

وَلَوْ وَضَعَ يَدَّهُ عَلَى تُرَابٍ نَاعِمٍ فَعَلَقَ بِهَا تُرَابٌ مِنْ غَيْرِ ضَرْبٍ كَفَى
Rukun yang ke empat adalah tertib. Maka wajib mendahulukan mengusap wajah sebelum mengusap kedua tangan, baik tayammum untuk hadats kecil ataupun hadats besar.

(وَ) الرَّابِعُ (التَّرْتِيْبُ) فَيَجِبُ تَقْدِيْمُ مَسْحِ الْوَجْهِ عَلَى مَسْحِ الْيَدَّيْنِ سَوَاءٌ تَيَمَّمَ عَنْ حَدَثٍ أَصْغَرَ أَوْ أَكْبَرَ
Dan seandainya ia meninggalkan tertib, maka tayammumnya tidak sah.

وَلَوْ تَرَكَ التَّرْتِيْبَ لَمْ يَصِحَّ
Adapun mengambil debu untuk mengusap wajah dan kedua tangan, maka tidak disyaratkan harus tertib.

وَأَمَّا أَخْذُ التُّرَابِ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَّيْنِ فَلَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ تَرْتِيْبٍ
Dan seandainya ia memukulkan tangan satu kali ke debu dan mengusap wajahnya dengan tangan kanan, dan mengusap tangan kanannya dengan tangan kirinya, maka hal itu diperkenankan.
وَلَوْ ضَرَبَ بِيَدِّهِ دَفْعَةً عَلَى تُرَابٍ وَمَسَحَ بِيَمِيْنِهِ وَجْهَهُ وَبِيَسَارِهِ يَمِيْنَهُ جَازَ .

Kesunahan-Kesunahan Tayammum

Kesunahan tayammum ada tiga perkara. Dalam sebagian redaksi matan, menggunkan bahasa “tiga khishal”.

(وَسُنَنُهُ) أَيِ التَّيَمُّمِ (ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ) وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ ثَلَاثُ خِصَالٍ
Yaitu membaca basmalah, mendahulukan bagian kanan dari kedua tangan sebelum bagian kiri dari keduanya, dan mendahulukan wajah bagian atas sebelum wajah bagian bawah.

(التَّسْمِيَّةُ وَتَقْدِيْمُ الْيُمْنَى) مِنَ الْيَدَّيْنِ (عَلَى الْيُسْرَى) مِنْهُمَا وَتَقْدِيْمُ أَعْلَى الْوَجْهِ عَلَى أَسْفَلِهِ
Dan muwallah. Maknanya telah dijelaskan di dalam bab “wudlu’”.

(وَالْمُوَالَّاةُ) وَسَبَقَ مَعْنَاهَا فِي الْوُضُوْءِ
Masih ada beberapa kesunahan-kesunahan tayammum yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya.

وَبَقِيَ لِلتَّيَمُّمِ سُنَنٌ أُخْرَى مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمُطَوَّلَاتِ
Di antaranya adalah orang yang tayammum sunnah melepas cincinnya saat memukul debu pertama. Sedangkan untuk pukulan yang kedua, maka wajib melepas cincin.
مِنْهَا نَزْعُ المُتَيَمِّمِ خَاتَمَهُ فِي الضَّرْبَةِ الْأُوْلَى أَمَّا الثَّانِيَةُ فَيَجِبُ نَزْعُ الْخَاتَمِ فِيْهَا.

Hal-Hal yang Membatalkan Tayammum

Hal-hal yang membatalkan tayammum ada tiga perkara.

(وَالَّذِيْ يُبْطِلُ التَّيَمُّمَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:)
Salah satunya adalah setiap perkara yang membatalkan wudlu’. Dan telah dijelaskan di dalam bab “Sebab-Sebab Hadats”.
أَحَدُهَا كُلُّ (مَا أَبْطَلَ الْوُضُوْءَ) وَسَبَقَ بَيَانُهُ فِيْ أَسْبَابِ الْحَدَثِ
Sehingga, ketika seseorang dalam keadaan bertayammum kemudian hadats, maka tayammumnya batal.

فَمَتَى كَانَ مُتَيَمِّمًا ثُمَّ أَحْدَثَ بَطَلَ تَيَمُّمُهُ
Yang ke dua adalah melihat air di selain waktu sholat. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “wujudnya air”.

(وَ) الثَّانِيْ (رُؤْيَةُ الْمَاءِ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وُجُوْدُ الْمَاءِ (فِيْ غَيْرِ وَقْتِ الصَّلَاةِ)
Sehingga, barang siapa melakukan tayammum karena tidak ada air kemudian ia melihat atau menyangka ada air sebelum melakukan sholat, maka tayammumnya batal.

فَمَنْ تَيَمَّمَ لِفَقْدِ الْمَاءِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ أَوْ تَوَهَّمَهُ قَبْلَ دُخُوْلِهِ فِي الصَّلَاةِ بَطَلَ تَيَمُّمُهُ
Sehingga, jika ia melihat air saat melakukan sholat, dan sholat yang dilakukan termasuk sholat yang tidak gugur kewajibannya dengan tayammum -tetap wajib qadla’- seperti sholatnya orang muqim, maka seketika itu sholatnya batal.
فَإِنْ رَآهُ بَعْدَ دُخُوْلِهِ فِيْهَا وَكَانَتِ الصَّلّاةُ مِمَّا لَايَسْقُطُ فَرْضُهَا بِالتَّيَمُّمِ كَصَلَاةِ مُقِيْمٍ بَطَلَتْ فِي الْحَالِ
Atau termasuk sholat yang sudah gugur kewajibannya dengan tayammum seperti sholatnya seorang musafir, maka sholatnya tidak batal, baik sholat fardlu ataupun sunnah.

أَوْ مِمَّا يَسْقُطُ فَرْضُهَا بِالتَّيَمُّمِ كَصَلَاةِ مُسَافِرٍ فَلَا تَبْطُلُ فَرْضًا كَانَتِ الصَّلاَةُ أَوْ نَفْلًا
Jika seseorang melakukan tayammum karena sakit atau sesamanya, kemudian ia melihat air, maka melihat air tidaklah berpengaruh apa-apa, bahkan tayammumnya tetap sah.

وَإِنْ كَانَ تَيَمُّمُ الشَّخْصِ لِمَرَضٍ وَنَحْوِهِ ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ فَلَا أَثَرَ لِرُؤْيَتِهِ بَلْ تَيَمُّمُهُ بَاقٍ بِحَالِهِ
Yang ketiga adalah murtad. Murtad adalah memutus Islam.
(وَ) الثَّالِثُ (الرِّدَّةُ) وَهِيَ قَطْعُ الْإِسْلَامِ

Shahibul Jaba’ir (Orang yang Memakai Perban)

Ketika secara syara’ tercegah untuk menggunakan air pada anggota badan, maka jika pada anggota tersebut tidak terdapat penutup, maka bagi dia wajib melakukan tayammum dan membasuh anggota yang sehat, dan tidak ada kewajiban tertib antara keduanya (tayammum & membasuh yang sehat) bagi orang yang junub.

وَإِذَا امْتَنَعَ شَرْعًا اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِيْ عُضْوٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَاتِرٌ وَجَبَ عَلَيْهِ التَّيَمُّمُ وَغَسْلُ الصَّحِيْحِ وَلَا تَرْتِيْبَ بَيْنَهُمُا لِلْجُنُبِ
Adapun orang yang hadats kecil, maka dia boleh melakukan tayammum ketika sudah waktunya membasuh anggota yang sakit.
أَمَّا الْمُحْدِثُ فَإِنَّمَا يَتَيَمَّمُ وَقْتَ دُخُوْلِ غَسْلِ الْعُضْوِ الْعَلْيِلِ
Jika ada penghalang (satir) pada anggota yang sakit, maka hukumnya dijelaskan di dalam perkataan mushannif di bawah ini.
فَإِنْ كَانَ عَلَى الْعُضْوِ سَاتِرٌ فَحُكْمُهُ مَذْكُوْرٌ فِيْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ
Orang yang memakai jaba’ir (perban), jaba’ir adalah bentuk kalimat jama’nya lafad jabirah, yaitu kayu atau bambu yang dipasang dan diikatkan pada anggota yang luka / retak agar supaya bersatu kembali / sembuh, maka ia wajib mengusap perbannya dengan air jika tidak memungkinkan untuk melepasnya karena khawatir terjadi bahaya yang telah dijelaskan di depan.

(وَصَاحِبُ الْجَبَائِرِ) جَمْعُ جَبِيْرَةٍ بِفَتْحِ الْجِيْمِ وَهِيَ أَخْشَابٌ أَوْ قَصْبٌ تُسَوَّى وَتُشَدُّ عَلَى مَوْضِعِ الْكَسْرِ لِيَلْتَحِمَ (يَمْسَحُ عَلَيْهَا) بِالْمَاءِ إِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ نَزْعُهَا لِخَوْفِ ضَرَرٍ مِمَّا سَبَقَ
Dan orang yang memakai perban harus melakukan tayammum di wajah dan kedua tangan seperti yang telah dijelaskan.

(وَيَتَيَمَّمُ) صَاحِبُ الْجَبَائِرِ فِيْ وَجْهِهِ وَيَدَّيْهِ كَمَا سَبَقَ
Ia harus melakukan sholat dan tidak wajib mengulangi -ketika sudah sembuh-, jika ia memasang perbannya dalam keadaan suci dan diletakkan pada selain aggota tayammum.

(وَيُصَلِّيْ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ وَضْعُهَا) أَيِ الْجَبَائِرِ (عَلَى طُهْرٍ) وَكَانَتْ فِيْ غَيْرِ أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ
Jika tidak demikian, maka ia wajib mengulangi sholatnya -ketika sudah sembuh-. Dan ini adalah pendapat yang disampaikan imam an Nawawi di dalam kitab ar Raudlah.

وَإِلَّا أَعَادَ وَهَذَا مَاقَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ
Akan tetapi di dalam kitab al Majmu’, beliau berpendapat bahwa sesungguhnya kemutlakan yang disampaikan jumhur (mayoritas ulama’) menetapkan bahwa tidak ada perbedaan, maksudnya antara posisi perban yang berada pada anggota tayammum dan selainnya.
لَكِنَّهُ قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ إِنَّ إِطْلَاقَ الْجُمْهُوْرِ يَقْتَضِيْ عَدَمَ الْفَرْقِ أَيْ بَيْنَ أَعْضَاءِ التَّيَمُّمِ وَغَيْرِهَا.
Perban disyaratkan harus tidak menutup anggota yang sehat kecuali anggota sehat yang memang harus tertutup guna memperkuat perban tersebut.

وَيُشْتَرَطُ فِي الْجَبِيْرَةِ أَنْ لَا تَأْخُذَ مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَّا مَا لَا بُدَّ مِنْهُ لِلْاِسْتِمْسَاكِ
Lushuq[1], ishabah[2], murham[3] dan sesamanya yang terdapat pada luka hukumnya sama dengan jabirah.
وَاللَّصُوْقُ وَالْعِصَابَةُ وَالْمَرْهَمُ وَنَحْوُهَا عَلَى الْجُرْحِ كَالْجَبِيْرَةِ

Yang Boleh Dilakukan dengan Tayammum

Sesorang harus melakukan tayammum setiap hendak melakukan satu ibadah fardlu dan ibadah nadzar.[4] Sehingga ia tidak diperkenankan melakukan dua sholat fardlu, dua thowaf, sholat dan thowaf, sholat Jum’at dan khutbahnya hanya dengan satu kali tayammum.

(وَيَتَيَمَّمُ لِكُلِّ فَرِيْضَةٍ) وَمَنْذُوْرَةٍ فَلَا يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاتَيِ فَرْضٍ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ وَلَا بَيْنَ طَوَافَيْنِ وَلَا بَيْنَ صَلَاةٍ وَطَوَافٍ وَلَا بَيْنَ جُمُعَةٍ وَخُطْبَتِهَا
Ketika seorang wanita melakukan tayammum guna melayani sang suami, maka bagi dia diperkenankan melakukan pelayanan berulang kali dan melakukan sholat dengan tayammum tersebut.

وَلِلْمَرْأَةِ إِذَا تَيَمَّمَتْ لِتَمْكِيْنِ الْحَلِيْلِ أَنْ تَفْعَلَهُ مِرَارًا وَتَجْمَعُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ بِذَلِكَ التَّيَمُّمِ
Perkataan mushannif “ dengan satu tayammum, seseorang diperkenankan melakukan ibadah-ibadah sunnah yang ia kehendaki” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan.
وَقَوْلُهُ (وَيُصَلِّي بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ مَاشَاءَ مِنَ النَّوَافِلِ) سَاقِطٌ مِنْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ.


[1] Sesuatu yang ditempelkan pada luka baik berupa kain, kapas atau sesamanya.
[2] Sesuatu yang diikatkan pada luka baik berupa tali atau sesamanya.
[3] Obat yang ditabutkan ke luka.
[4] Sholat, thowaf da khutbah Jum’at saja.

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Tugas Para Malaikat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer