Pengertian Ijtihad

Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menyelidiki dan menetapkan hukum suatu perkara berdasarkan Al-Qur'an dan hadits. Suatu contoh adalah mengapa meminum minuman berakohol diharamkan? Padahal Al-Qur'an tidak menjelaskan soal alkohol. Setelah menyelidiki dengan cermat dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits, maka para ulama mengqiyaskan sifat minuman berakohol itu sama dengan khomar, yakni memabukkan. Dan khomar telah diharamkan dalam Al-Qur'an. "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (QS. 5/Al-Maidah: 90) Dan qiyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad.

Dasar hukum ijtihad yang pertama adalah Al-Qur'an. "Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang suatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rosul (sunnahnya)." (QS. 4/An-Nisa': 59) Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran wahai orang-orang yang memiliki pandangan." (QS. 59/Al-Hasyr: 2)

Kebolehan berijtihad ini juga dijelaskan dalam hadits. Muadz bin Jalal mengisahkan, ketika Muhammad Rosulullah saw. mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya, "Apa yang akan kamu lakukan jika dihadapkan kepadamu suatu masalah?" Muadz menjawab, "Aku putuskan dengan hukum yang ada di Al-Qur'an." Nabi saw bertanya lagi, "Jika tidak ada hukumnya di dalam AlQuran?" Mu'adz berkata, "Aku putuskan berdasarkan sunnah Rosul saw." Rosul saw. bertanya kembali, "Jika tidak ada hukumnya dalam As-Sunnah?" Muadz berkata, "Aku akan berijtihad dengan mendapatkan." Kemudian Rosulullah saw. menepuk dadanya. "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rosul-Nya, demi keridhoan Allah dan Rosul-Nya." (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Al Baihaqi)

Ijtihad ini telah dilakukan oleh Muhammad Rosulullah saw. Jadi beliaulah mujtahid yang pertama. Tentu saja ijtihad yang dilakukan oleh Nabi saw. terbatas pada masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu. Jika ijtihad Nabi Muhammad saw. itu benar, maka turunlah wahyu membenarkannya. Sebaliknya apabila ijtihad Nabi saw. itu salah, maka turunlah wahyu meluruskannya. Contoh Ijtihad Rosulullah saw. yang dibenarkan oleh Al-Qur'an adalah dalam masalah tawanan Perang Badr. Beliau ketika itu, setelah bermusyawarah dengan para sahabat, memutuskan bahwa tawanan perang dibebaskan dengan membayar fidiyah. Maka turunlah ayat yang membenarkan keputusannya, "Tidak pantas bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda dunia, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)." (QS. 8/ Al-Anfal: 67) "Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. 8/A/-A nfal: 69)

Nabi Muhammad Rosulullah saw. juga pernah mengizinkan orang-orang munafik untuk tidak turut berperang. Dan ternyata itu adalah kekeliruan beliau dalam mengambil keputusan, maka turunlah ayat: "Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau izinkan mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta? Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin (tidak ikut) kepadamu untuk tidak berjihad dengan harta dan jiwa mereka." (QS. 9/ At-Taubah: 43)

Setelah Muhammad Rosulullah saw. wafat, para sahabat mencarikan solusi dari masalah yang bermunculan pada Al-Qur'an dan hadits. Dan jika hukumnya tidak ditemukan dalam keduanya, para sahabat melakukan ijtihad. Demikianlah yang dilakukan oleh keempat khulafaur rosyidin mulai dari Abu Bakar ra. sampai Ali bin Abi Tholib. Dalam menghukumi masalah baru yang terus bermunculan, mereka memusyawarahkannya dengan para sahabat yang lain. Setelah itu diambillah keputusan dan ditetapkannya sebagai hukum. Maka terkenallah ucapan Abu Bakar ra. jika berijtihad dengan pendapatnya, "Ini adalah pendapatku. Jika benar itu dari Allah. Dan apabila salah, itu dari saya."

Tidak semua orang dibenarkan melakukan ijtihad. Seseorang yang melakukan ijtihad haruslah memiliki delapan persyaratan pokok sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf Qordowi.
1. Memahami ayat-ayat Al-Qur'an dengan asbabun nuzulnya (yakni sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur'an), ayat-ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapus);
2. Memahami hadis dan asbabul wurudnya (sebab-sebab munculnya hadits);
3. Menguasai bahasa Arab;
4. Mengetahui tempat-tempat ijmak;
5. Memahami ushul fikih;
6. Memahami maksud-maksud syariat;
7. Memahami masyarakat dan adat-istiadatnya; serta
8. Bersifat adil dan takwa.

Selain syarat-syarat tersebut di atas, para ulama menambahkan tiga syarat lain, yaitu:
1. menguasai ilmu ushuluddin/Tauhid/Aqidah (salah satu cabang dari ilmu-ilmu keislaman yang membahas pokok-pokok keyakinan dalam Islam.
2. memahami ilmu mantik (logika); dan
3. menguasai cabang-cabang fikih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer