ETIKA DALAM PERMASALAHAN YANG BERBEDA-BEDA

Pertama, di ceritakan dari imam Ibrahim An Nakho’I, bahwa beliau pernah berkata, “makan di pasar itu termasuk perbuat yang rendah dan hina.” Namun ada sebagian ulama’ salaf yang melakukannya. Adapun kesingkronkan dua hal ini adalah berbeda-bedanya kebiasan setiap daerah dan keadaan setiap orang. Bagi orang yang tidak pantas makan di pasar di lihat dari keadaan dan kebiasaan daerahnya, maka hal itu dianggap rakus dan menjatuhkan harga diri. Sedangkan bagi orang yang tidak demikian maka tidak masalah makan di pasar.

    Kedua, sebagian dokter berkata, “ jangan menikah kecuali dengan wanita muda, jangan makan daging kecuali daging muda, jangan makan masakan sehingga betul-betul masak dan enak, jangan minum obat kecuali karena sakit, jangan makan buah-buahan kecuali sudah masak, sungguh jangan makan makanan kecuali telah engkau kuyah dengan baik, sungguh jangan minum di atas makan, dan jangan menahan kencing dan berak. Jika engkau makan siang hari, maka tidurlah setelahnya. Dan jika makan malam, maka jangan tidur dulu kecuali telah jalan-jalan walaupun hanya seratus jangkahan.”

    Ketiga, di sunnahkan membawa makanan untuk keluarga orang yang meninggal dunia. Karena ketika jenazah sahabat Ja’far bin Abu Tholib datang, maka baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
إِنَّ آلَ جَعْفَرٍ شَغَلُوْا بِمَيِّتِهِمْ عَنْ صُنْعِ طَعَامِهِمْ فَاحْمِلُوْا إِلَيْهِمْ مَا يَأْكُلُوْنَ
 “sesungguhnya keluarga Ja’far sedang sibuk mengurus mayat keluarganya dan tidak sempat mengurus makanan mereka, maka bawakan makanan yang bisa mereka maka .”

    Hukum membawa makanan ini adalah sunnah. Dan ketika makanan ini di sajikan untuk sekelompok orang, maka bagi mereka halal memakannya.

    Keempat, hendaknya tidak menghadiri jamuan orang dhalim. Jika terpaksa, maka hendaknya hanya memakan sedikit saja.

Penyempurna

    Di ceritakan bahwa sesungguhnya sebagian ulama’ ada yang tidak memenuhi undangan dan mengatakan, “menanti kua itu termasuk hal yang hina.”

    Ada lagi yang mengatakan, “ketika aku meletakkan tanganku ke mangkuk orang lain, maka sungguh aku telah menghinakan diriku pada orang tersebut.”

    Sebagian ulama’ yang lain mengingkari ungkapan ini dengan mengatakan, “ucapan ini bertentangan dengan sunnah.”

    Imam al Ghozali berkata, “sebenarnya tidak demikian, akan tetapi kondisional. Sesungguhnya memenuhi undangan itu termasuk hal yang hina jika memang yang mengundang tidak senang jika ungdangannya di penuhi, dan tidak merasa bahwa dia mendapat anugerah karena undangannya di datangi, dan merasa bahwa undangannya itu adalah bentuk jasanya terhadap orang yang di undang. Sedangkan Rosulullah Saw memenuhi undangan karena beliau tahu kalau yang mengundang merasa mendapat anugerah atas kehadiran beliau, dan merasa hal itu adalah bentuk kemulian dan simpanan keberuntungan baginya di dunia dan akhirat.”

    Sehingga hal ini berbeda-beda sebab berbeda-bedanya keadaan. Bagi orang yang meyangka bahwa orang yang mengundang merasa berat untuk meyajikan makanan, dan sesungguhnya dia melakukan semua itu karena berbangga-banggaan atau takalluf (berlebihan), maka memenuhi undangan orang seperti ini tidaklah sunnah, bahkan yang lebih baik adalah memberi alasan untuk tidak hadir.

    Oleh sebab itu sebagian ulama’ sufi berkata, “janganlah engkau memenuhi kecuali undangan dari orang yang merasa sesungguhnya engkau hanya memakan rizkimu, dan sesungguhnya dia menyerahkan titipan milikmu yang berada padanya padamu, dan merasa bahwa engkau memiliki jasa atas dirinya sebab telah menerima titipan itu darinya.”

    Maka ketika orang yang di undang mengetahui bahwa tidak ada pengundat-undat dalam jamuan itu, maka hendaknya tidak menolak undangan tersebut.
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)

Baca juga artikel kami lainnya :  Perbedaan Nabi dan Rasul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer