KEISTIMEWAAN MENGUNDANG DAN MENJAMU TAMU

Keutamaan Menjamu Tamu

    Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
 “barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.”

Dalam sebuah atsar sahabat di sebutkan,
لَا خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يَضِيْفُ
 “tidak ada kebaikan sama sekali pada seseorang yang tidak pernah menjamu tamu.”

Baginda Nabi Saw pernah di Tanya tentang apakah iman itu?, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَبَذْلُ  السَّلَامِ
 “hakikat iman adalah memberi makan dan mengucapkan salam.”

Saat menjelaskan tentang kafarat dan derajat, baginda Rosul Saw bersabda,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَالصَّلَاةُ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
“-iman adalah- memberi makan dan sholat malam saat manusia sedang tertidur lelap ”.

    Sedangkan dalam masalah mengundang, maka hendaknya yang di tujuh dengan undangannnya adalah orang-orang yang bertaqwa, bukan orang-orang fasiq.
Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
أَكَلَ طَعَامَكَ الْأَبْرَارَ
 “semoga makananmu di makan oleh orang-orang yang baik (al abror).”

Dalam sebuah atsar sahabat di sebutkan,
لَا تَأْكُلْ إِلَّا طَعَامَ تَقِيٍّ وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
 “janganlah engkau memakan kecuali makanan orang yang bertaqwa, dan janganlah makananmu di makan kecuali oleh orang yang bertaqwa.”

Tidak hanya mengudang orang-orang kaya saja, akan tetapi juga mengundang orang-orang fakir miskin.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يُدْعَى إِلَيْهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُحْرَمُ مِنْهَا الْفُقَرَاءُ
 “makanan yang paling jelek adalah makanan di dalam acara walimah yang di undang hanya orang-orang kaya saja, sedangkan orang-orang faqir di haling-halangi / tidak undang.”

Hendaknya tidak melupakan kerabat-kerabatnya untuk di undang. Sebab dengan tidak mengundang mereka, itu sama saja dengan membuat sedih dan bisa memutuskan ikatan silaturahmi. Begitupula hendaknya memperhatikan urutan dalam mengundang para teman dan kenalan. Karena sesungguhnya hanya dengan mengundang sebagian saja, itu bisa membuat hati yang lain sedih / tersinggung. Hendaknya tujuan mengundang bukan untuk bangga-banggaan dan menyombongkan diri, akan tetapi bertujuan untuk menarik simpatik dari para saudara dan teman-teman serta membuat senang hati orang-orang mukmin. Hendaknya tidak mengundang orang yang di ketahui akan merasa berat untuk hadir, dan ketika memaksakan hadir, maka dia akan tersakiti oleh hadirin yang lain sebab sesuatu hal. Hendaknya tidak mengundang kecuali orang-orang yang suka untuk memenuhi undangan.

    [ masalah memenuhi undangan ] hukum memenuhi undangan adalah sunnah muakad. Bahkan ada yang mengatakan hahwa hukum memenuhi undangan adalah wajib di sebagian  dalam sebagian tempat. Ada lima etika di dalam memenuhi undangan :

    Pertama, tidak membeda-bedakan dengan hanya memenuhi undangan orang kaya dan tidak memenuhi undangan orang faqir, karena ini termasuk takabur yang di larang.

Kedua, tidak menjadikan jauhnya jarak sebagai alasan untuk tidak memenuhi undangan. Sebagaimana jika yang mengundang adalah orang faqir dan tidak memiliki pangkat, maka tidak di jadikan sebagai sebab tidak menghadiri undangan. Akan tetapi setiap jarak yang masih mampu di tempuh secara adat, maka hendaknya tidak menjadi alasan tidak mengahdiri undangan.

Ketiga, tidak menjadikan puasa sebagai alasan tidak memenuhi undangan. Bahkan tetap hadir walaupun dalam keadaan berpuasa. Jika tuan rumah lebih suka kalau dia membatalkan puasa, maka hendaknya membatalkan puasanya. Hendaknya niat membatalkan puasa untuk membahagiakan hati tuan rumah, dan mengharapkan sesuatu yang di harapkan di dalam puasa serta mengharapkan yang lebih utama. Semua ini jika saat melaksanakan puasa sunnah. Namun jika ternyata tuan rumah melakukan hal yang berlebihan (takalluf), maka hendaknya dia memberi alasan untuk tidak memenuhi undangan.

Sahabat Ibn Abbas Ra berkata, “diantara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan orang-orang yang duduk bersamanya dengan tidak berpuasa.”

Dengan niat seperti ini, maka tidak berpuasa termasuk ibadah dan budi pekerti yang baik, serta pahalanya lebih tinggi dari pada melakukan puasa. Namun jika tidak membatalkan puasa, maka suguhannya adalah wewangian, dupa dan percakapan yang baik.

Keempat, tidak menghadiri undangan jika makanan yang di sajikan berupa makanan syubhat, atau di tempat acara terdapat kemungkaran, yang mengundang adalah orang dzolim, fasiq atau orang yang berlebih-lebihan karena berbangga-banggaan.

Kelima, tidak menghadiri undangan dengan tujuan memenuhi keinginan perut, sehingga dia termasuk orang yang melakukan hal-hal duniawi. Akan tetapi dengan niat yang baik, agar dengan memenuhi undangan ini dia menjadi orang yang beramal untuk akhirat, yaitu dengan niat mengikuti teladan baginda Nabi Muhammad Saw, memuliakan saudara sesama muslim dan niat berkunjung padanya agar termasuk orang-orang yang saling mengasihi karena Allah Swt. Niat menjaga diri agar tidak di su’udzoni jika tidak memenuhi undangan. Dan agar tidak di bilang sombong, berakhlaq tercela, meremehkan saudara sesama muslim atau tuduhan-tuduhan yang sesamanya.

Sebagian ulama’ salaf berkata, “aku senang jika setiap amal yang aku lakukan di sertai dengan niat yang baik, hingga saat makan dan minum ”.

karena sesungguhnya perkara yang mubah bisa menjadi sesuatu yang bernilai kebaikan dan ibadah dengan niat yang baik.

Adapun etika menghadiri undangan adalah masuk ke tempat acara / rumah. tidak maju ke depan dan bertempat di tempat yang terbaik, akan tetapi bersikap tawadlu’. Tidak menyebab yang lain terlalu lama menunggunya. Tidak tergesa-gesa hingga membuat yang lain terkejut / tergesa-gesa sebelum mereka selesai mempersiapkan semua. Tidak merpersempit tempat dengan mendesak hadirin yang lain, bahkan kalau tuan rumah telah menunjukkan tempat, maka hendaknya dia sama sekali tidak menolaknya, karena mungkin tuan rumah telah menentukan setiap tempat. Sehingga menolak ketentuan itu bisa membuat tuan rumah terganggu. Tidak duduk di depan pintu kamar atau di balik tirai tempat para wanita. Tidak sering memandang ke tempat keluarnya makanan, karena sesungguhnya hal itu termasuk tanda orang yang rakus.  Memberi penghormatan dan sekedar bertanya-tanya kepada orang di dekatnya saat duduk.

Ketika ada tamu yang mau menginap, maka hendaknya tuan rumah memberitahukan kepadanya arah kiblat, tempat air dan tempat wudlu’. Hendaknya tuan rumah membasuh tangannya sebelum yang lainnya dan sebelum makan, karena sesungguhnya hal itu bisa meyebabkan orang lain menghormatinya. Dan hendaknya tuan rumah juga agak belakangan selesai makannya hingga para tamunya selesai.
Bagi tamu yang melihat kemungkaran saat masuk ke tempat acara, maka harus menghilangkannya jika mampu. Jika tidak mampu menghilangkan, maka harus mengingkari dengan lisan dan meninggalkan tempat acara.

Adapun etika di dalam menghidangkan makanan ada lima :
Pertama, segera meyajikan makanan karena hal ini termasuk dari bentuk memuliakan tamu. Jika sudah banyak yang hadir dan masik ada satu atau dua orang yang terlambat dari waktu yang telah di tentukan, maka segera menyajikan makanan untuk yang hadir itu lebih utama dari pada menunggu yang terlambat. Salah satu diantara dua makna firman Allah Swt dalam surat Adz Dzariyat ayat 24 :

Artinya : “ Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (Yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? ”.

Adalah sesungguhnya para tamu nabi Ibrahim As ini di muliakan dengan segera menyajikan makanan pada mereka. Hal ini di tunjukkan oleh firman Allah Swt dalam surat Hud ayat 69 :

Artinya : “dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang”.
Dan firman-Nya dalam surat Adz Dzariyaat ayat 26 :

Artinya : “ Maka Dia segera pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk”.

Lafadz " فراغ " itu memiliki arti segera pergi. Ada yang mengatakan bahwa artinya adalah pergi dengan diam-diam.

Imam Hatim Al A’sham berkata, “tergesa-gesa itu termasuk dari perbuatan syetan kecuali di dalam lima hal, maka sesungguhnya tergesa-gesa dalam lima hal itu termasuk dari sunnah Rosulullah Saw, yaitu tergesa-gesa untuk menyajikan makanan untuk tamu, merawat jenazah, menikahkan anak perawan, melunasi hutang dan bertaubat dari dosa.”

Kedua, runtut di dalam menyajikan makanan, yaitu pertama kali menghidangkan buah-buahan jika ada. Karena secara kedokteran hal itu baik untuk memperlancar pencernaan, sehingga baik jika masuk dan berada di bagian perut yang paling bawah. Al Qur’an mengingatkan agar mendahulukan buah-buahan di dalam firman Allah Swt surat Al Waqi’ah ayat 20 :

Artinya : “dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,”

Kemudian Allah Swt berfirman dalam ayat selanjutnya :

Artinya : “dan daging burung dari apa yang mereka inginkan”.

Kemudian setelah buah-buahan, yang lebih baik di sajikan adalah daging dan jenang tsarid. Jika meyajikan manisan setelah keduanya, maka dia telah dianggap mengumpulkan makanan-makanan yang terbaik. Yang menunjukkan bahwa menyajikan daging termasuk memuliakan tamu adalah firman Allah Swt tentang tamunya nabi Ibrohim, yaitu ketika beliau menyajikan daging sapi masak yang lezat.

Menyajikan daging itu termasuk salah satu makna dari bentuk memuliakan tamu.

Imam Abu Sulaiman Ad Daroni Ra berkata, “memakan makanan-makanan terbaik ini bisa mendatangkan ridlonya Allah Swt.”

Memakan makanan-makanan terbaik ini menjadi sempurna dengan meminum air yang dingin dan membasuh tangan dengan air hangat setelah selesai makan.

Imam al Makmun berkata, “meminum air dengan es itu bisa memurnikan rasa syukur.”
Sebagian ulama’ berkata, “ memakan manisan setelah meyantap hidangan itu lebih baik daripada bermacam-macam makanan.”

Menetap pada satu macam makanan itu lebih baik daripada lebih dari dua macam. Menghiasi makanan dengan sayur-sayuran itu juga di sunnahkan / senangi.

Ketiga, lebih mendahulukan memakan makanan yang paling lunak dari berbagai macam makanan yang di sajikan, hingga orang lain yang ingin menyantap semuanya telah selesai. Setelah memakan yang paling lembut, maka hendaknya tidak makan banyak. Sedangkan kebiasan orang yang rakus adalah mendahulukan makanan yang keras agar bisa membangkitkan syahwat saat memakan makanan yang lembut setelahnya, dan ini bertentangan dengan sunnah, karena sesungguhnya hal ini termasuk taktik untuk memperbanyak makan. Di sunnahkan untuk meyajikan semua macam hidangan sekaligus, atau memberitahukan apa yang masih tersisa.

Keempat, hendaknya bagi tuan rumah tidak mengangkat semua hidangan sebelum para tamu selesai menyantapnya, hingga mereka mengangkat tangan dari hidangan-hidangan tersebut. Karena mungkin sebagian dari mereka ada yang lebih suka menyantap sisa dari satu macam daripada apa yang di minta oleh yang lain, atau dia masih butuh memakannya sehingga akan menyebabkan tersendat jika tergesa-gesa di angkat.

Kelima, meyajikan makanan sesuai dengan porsi yang di butuhkan. Karena kalau kurang dari yang di butuhkan, maka bisa menjatuhkan harga diri. Sedangkan melebihinya itu dianggap tashanu’ (pura-pura).
Sahabat Ibn Mas’ud Ra berkata, “kita di larang mendatangi undangan orang yang berlebih-lebihan dalam meyajikan makanan.”

Beberapa sahabat Ra tidak suka / memakruhkan memakan makanan yang di sajikan karena bertujuan berbangga-banggahan. Hendaknya sebelum di sajikan, ada sebagian makanan yang di sisikan untuk keluarga, agar mereka tidak berharap makanan yang tersisa. Karena mungkin saja tidak tersisa sehingga hati mereka merasa berat dan sedih hingga berbicara yang tidak-tidak tentang tamunya.

Adapun etika ketika hendak pulang ada tiga :
Pertama, menyertai tamu hingga pintu rumah. Dan ini hukumnya sunnah serta termasuk dari bentuk memuliakan tamu. Termasuk dari kesempurnaan memuliakan tamu adalah berwajah ramah, berbicara yang manis saat tamu datang, pulang dan saat makan.

Kedua, seorang tamu pulang dengan perasaan lega dan puas, walaupun ada sesuatu bentuk kesalahan yang di lakukan oleh tuan rumah pada dirinya. Karena hal itu termasuk dari budi pekerti dan ketawadu’an.

Ketiga, bagi tamu hendaknya tidak keluar rumah kecuali dengan kerelaan dan izin tuan rumah. Menjaga perasaan tuan rumah dalam mengukur kira-kira bertempat disana. Ketika bertamu hendaknya tidak menginap lebih dari tiga hari, karena terkadang tuan rumah merasa tidak nyaman dengan keberadaannya dan ingin menyuruhnya pulang. Memang demikian, namun jika tuan rumah memaksa dengan tulus agar si tamu tetap menginap,  maka baginya boleh untuk menginap lebih dari tiga hari. di sunnahkan bagi tuan rumah untuk menyediakan tikar / ranjang bagi tamu yang menginap.

(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)

Baca juga artikel kami lainnya :  Perbedaan Nabi dan Rasul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer