Kafarat (Penebus) Ghibah

Ketahuilah sesungguhnya hal yang wajib di lakukan oleh orang yang telah menggunjing orang lain adalah menyesal, bertaubat dan merasa prihatin atas apa yang telah di lakukannya, agar dia bisa terbebas dari haknya Allah Swt. Kemudian meminta halal kepada orang yang telah di gunjing agar dia memaafkan, sehingga dia bisa terbebas dari perbuatan dhalim yang telah dilakukan, jika memang hal ini mampu di lakukan dan tidak khawatir terjadi hal-hal negatif. Imam Hasan al Bashri berpendapat bahwa cukup hanya beristighfar kepada Allah Swt, tidak harus meminta halal kepada orang yang telah digunjing.

    Dalam sebuah hadits di sebutkan,

أَيَعْجُزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ كَأَبِيْ ضَمْضَمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ قَالَ اللَّهُمَّ  إِنِّيْ قَدْ تَصَدَّقْتَ بِعَرْضِيْ عَلَى النَّاسِ
“apakah salah satu diantara kalian tidak mampu seperti yang di lakukan oleh Abu Dladlam. Ketika keluar dari rumahnya, maka dia berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku telah mensedekahkan harga diriku kepada manusia’.”

Maksudnya, “aku tidak akan menuntut kedhaliman di hari kiamat dari orang yang telah mendlalimiku dan aku tidak akan berseteru dengannya.”

Yang di kehendaki bukanlah membiarkan harga dirinya di ganggu, akan tetapi memaafkan kesalahan orang yang melakukan kesalahan padanya. Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman di dalam surat Al A’raaf ayat 199 :

Artinya : “jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Dalam sebuah hadits di jelaskan bahwa malaikat Jibril berkata pada baginda Nabi Muhammad Saw,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَأْمُرُكَ أَنْ تَعْفُوْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَّمَكَ
 “sesungguhnya Allah Swt memerintahkan anda agar memaafkan orang yang berbuat dhalim pada anda, menyambung silaturahmi dengan orang yang memutus ikatan silaturahmi dengan anda, dan memberi pada orang yang tidak mau memberi pada anda.”

[Bahaya lisan yang ke enam belas adalah namimah (adu domba)] Allah Swt berfirman dalam surat Al Qolam ayat 11 :

Artinya : “yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah”.

Allah Swt berfirman dalam surat Al Humazah ayat 1 :

Artinya : “kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela”.

Allah berfirman dalam surat

Artinya : “dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

Ada yang mengatakan bahwa yang di maksud dengan pembawa kayu itu adalah tukang fitnah, berdasarkan hadits yang menjelaskannya.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
 “tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.”

Beliau juga bersabda,

أَحَبُّكُمْ إِلَى اللهِ أُحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا الْمُوْطِؤُوْنَ أَكْنَافًا الَّذِيْنَ يَأْلِفُوْنَ وَيُؤْلَفُوْنَ وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَى اللهِ الْمَشَّاؤُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ الْمُفَرِّقُوْنَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ الْمُلْتَمِسُوْنَ لِلْبَرَّاءِ الْعَثَرَاتِ
 “orang yang paling di cintai Allah dari kalian semua adalah orang yang paling bagus akhlaknya, yang rendah diri, mencintai orang lain dan di cintai orang lain. Dan sesungguhnya orang yang paling di benci oleh Allah dari kalian semua adalah orang yang suka mengadu domba, yang memisahkan hubungan pertemanan dan mencari-cari kesalahan orang-orang yang baik.”

Batasan namimah adalah mengungkap sesuatu yang tidak suka untuk di ungkap, baik yang tidak suka adalah orang yang di beri tahu atau orang ketiga (yang di beritakan), baik dengan ucapan, tulisan, rumuz, atau isyarat, baik yang di beritakan adalah tentang ucapan atau perbuatan, baik orang yang di beritakan memang memiliki kejelekan dan kekurangan ataupun tidak, bahkan hakikat namimah adalah menceritakan rahasia dan merusak penutup sesuatu yang tidak di senangi jika di buka dan di ungkap.
Bahkan apapun yang di lihat seseorang dari keadaan-keadaan manusia, maka hendaknya tidak di ungkapkan kecuali hal-hal yang bisa mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemaksiatan. Seperti ketika melihat seseorang yang mengambil harta orang lain, maka wajib baginya bersaksi atas apa yang di lihat karena untuk melindungi hak orang yang di ambil hartanya.

Sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan adu domba ada kalanya karena mengharapkan kejelekan bagi orang yang di ceritakan, menampakkan rasa suka kepada orang yang di beri cerita, atau karena merasa senang untuk bercerita dan ngerumpi tentang hal-hal yang tidak berguna dan hal-hal batil.

Setiap orang yang mendapatkan berita yang mengandung adu domba, maka jangan terburu-buru mempercayainya, karena Allah Swt berfirman dalam Al Hujuraat ayat 6 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Dan hendaknya menegur orang yang membawa berita itu serta menasehatinya, dan tidak berburuk sangka pada orang yang di ceritakan dan jangan sampai berita itu mendorong dia untuk meneliti kejelekan orang yang di ceritakan.

Imam Hasan Al Bashri Ra berkata, “orang yang mengadukan padamu, maka diapun akan mengadukanmu pada orang lain.”

Ungkapan beliau ini menunjukkan bahwa sesungguhnya orang yang suka mengadu domba, maka hendaknya di benci dan tidak di percaya ucapan dan kejujurannya. Bagaimana tidak, wong dia tidak pernah terlepas dari menipu, hianat dan membuat kerusakan diantara manusia. Dia adalah orang yang berusaha memutus sesuatu yang di perintahkan Allah Swt agar di sambung, dan orang-orang seperti ini selalu membuat kerusakan di muka bumi. Allah Swt berfirman dalam surat Asy Syura ayat 42 :

Artinya : “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih”.

Sedangkan tukang adu domba termasuk diantara mereka.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
إِنَّ مِنْ شَرَارِ النَّاسِ مَنِ اتَّقَاهُ النَّاسُ لِشَرِّهِ
 “sesungguhnya diantara manusia yang paling jelek adalah orang yang di segani oleh yang lain karena perbuatan buruknya.”

Tukang adu domba juga termasuk diantaranya.

Ada yang bertanya kepada imam Muhammad ibn Ka’ab al Qurdhy, “sikap mukmin yang bagaimanakah yang paling bisa merendahkan dirinya?.” Beliau menjawab “yaitu banyak bicara, menyebar luaskan rahasia, dan menerima ucapan setiap orang!.” Sebagian ulama’ berkata, “seandainya berita yang di bawa tukang adu domba itu memang benar, maka dialah orang yang sudah berani mencaci maki dirimu. Sehingga yang lebih berhak kau kasihi adalah orang yang di ceritakan, karena sesungguhnya dia tidak mencaci di hadapanmu.”

[Bahaya lisan yang ke tujuh belas adalah kalamudzul wajhain (ucapan orang yang mempunyai dua wajah)] yaitu orang yang mempunyai dua lisan yang mengadu domba diantara dua orang yang sedang berseteru dan bermusuhan. Dia bicara pada masing-masing dua orang itu dengan ucapan yang mengesankan pujian karena telah memusuhi dan mencela lawannya, serta berjanji akan membantu untuk mengalahkan lawannya. Ini termasuk tanda-tanda dari kemunafikan.

Memang benar demikian, namun ketika dia berkunjung kepada dua orang yang sedang bermusuhan dan berkata manis dengan hal-hal yang memang benar adanya, maka dia tidak dianggap orang yang memiliki dua lisan dan bukan orang munafik, karena sesungguhnya terkadang dia memang bersahabat dengan dua orang yang sedang berseteru.

Sedangkan orang yang memindah perkataan salah satu diantara dua orang yang bermusuhan kepada lawannya, maka dia adalah orang yang memiliki dua lisan, dan dia lebih buruk dari pada an nammam (tukang adu domba). Karena sesungguhnya an nammam hanya memindah perkataan dari salah satu pihak saja, sedangkan orang ini menambahi dengan memindah kepada pihak yang satu lagi, serta menginginkan untuk menampakkan seakan perseteruan itu baik adanya.

Memang benar demikian, namun bagi orang yang terpaksa berkata yang seakan mengesankan mendukung salah satu pihak dan takut untuk meninggalkannya, maka dia dianggap memiliki udzur, karena menghindari keburukan yang di lakukan orang lain hukumnya di perkenankan.
Sahabat Abu Darda’ Ra berkata, “sesungguhnya kami menampakkan sikap manis di hadapan orang-orang, walaupun hati kami melaknati mereka”.

Dewi ‘Aisyah Ra berkata, “suatu ketika ada seorang lelaki yang meminta izin untuk bertemu baginda Rosulullah Saw, kemudian beliau bersabda, ‘berikan izin pada orang tersebut, karena dia adalah orang yang paling jelek.’ Ketika dia menghadap Nabi, maka beliau berkata dengan bahasa halus padanya. Dan ketika dia sudah keluar, maka aku bertanya pada beliau, ‘sebenarnya kenapa anda berkata bahwa lelaki itu jelek, namun kemudian anda berkata halus padanya?!.’ Beliau menjawab, ‘wahai ‘Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling jelek adalah orang yang di muliakan karena menghindari sikap buruknya’.”

Yang perlu di mengerti adalah bahwa hadits ini hanya menjelaskan bahwa di perkenankan menemui, bermuka ramah dan terseyum, dan tidak di perkenankan sampai memuji, membenarkan dan menganggukkan kepala yang mengesankan setuju terhadap setiap ucapan yang bathil. Kalau sampai berbuat demikian, maka dia termasuk orang munafik. Bahkan di harus mengingkari _hal yang bathil_. Jika tidak mampu maka harus diam dan ingkar di dalam hati. Hal-hal darurat itu memiliki hukum masing-masing.

[Bahaya lisan yang ke delapan belas adalah suka memuji] Memuji tidak di perkenankan dalam sebagian keadaan. Adapun mencela orang lain adalah ghibah dan menjelekkan orang lain yang mana hukumnya sudah kami jelaskan di depan. Sedangkan memuji orang lain akan bisa menimbulkan enam macam efek samping. Empat efek dari orang yang memuji sedangkan yang dua dari orang yang di puji. 

Pertama, sesungguhnya orang yang memuji terkadang melampaui batas pujian yang di perkenankan sehingga dia berkata bohong. Kedua, terkadang orang yang memuji akan di hampiri oleh riya’. Karena dengan memuji, dia telah menampakkan rasa cinta. dan terkadang di dalam hatinya sama sekali tidak menyimpan rasa cinta dan tidak menyaqini semua apa yang telah di ucapkannya, sehingga dia menjadi orang yang riya’ dan munafik.

Ketiga, sesungguhnya orang yang memuji itu terkadang mengungkapkan hal-hal yang tidak dia ketahui secara pasti, dan tidak ada jalan baginya untuk mengetahuinya. Ke empat, sesungguhnya orang yang memuji itu terkadang membuat senang terhadap orang yang di puji, padahal dia adalah orang dhalim atau orang fasiq, dan hal ini tidak di perkenankan.

Imam Hasan Bashri berkata, “barang siapa mendoakan orang dhalim agar di beri umur panjang, maka sesungguhnya dia senang kalau orang dhalim itu bermaksiat kepada Allah di muka bumi ini.”

Sedangkan dampak negatif yang akan di alami oleh orang yang di puji ada dua. Pertama, pujian itu akan bisa memunculkan rasa sombong dan bangga diri, keduanya adalah sesuatu yang akan membuat binasa. Kedua, sesungguhnya ketika dia di puji, maka akan merasa senang, malas dan merasa puas dengan apa yang telah di lakukannya, sehingga tidak lagi bersemangat untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik setelahnya.

Jika pujian itu terhindar dari hal-hal di atas, baik pada orang yang memuji atau yang di puji, maka tidak masalah memuji bahkan terkadang sangat di anjurkan.

Bagi orang yang di puji, maka harus berusaha sekuat tenaga menghindari bahaya rasa sombong, bangga diri, dan malas. Dia harus ingat dan sadar bahwa di dalam dirinya masih banyak hal-hal yang tidak di ketahui oleh orang yang memuji. Seandainya semua rahasia dan semua yang terlintas di hatinya di ketahui oleh orang yang memuji, niscaya dia tidak lagi akan memuji.

Ketika sahabat ‘Ali Ra di puji, maka beliau berkata, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah engkau menyiksaku atas apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka.”

Bagi orang yang memuji hendaknya tidak memantapkan ucapan kecuali memang dia mengetahui dengan sesungguhnya isi ucapan itu. Suatu ketika sahabat Umar Ra mendengar seorang lelaki yang memuji lelaki yang lain, maka beliau bertanya pada si pemuji, “apa engkau pernah bepergian dengan lelaki tersebut?, Apakah engkau bergaul dengannya di saat jual beli dan transaksi?.” Lelaki itu menjawab, “tidak pernah!.” Beliau bertanya lagi, “apa engkau selalu bersamanya di pagi dan sore hari?.” Dia menjawab, “tidak.” “demi Allah, yang tiada tuhan selain-Nya, aku kira engkau belum tahu lelaki itu sebenarnya.”

Dalam sebuah hadits di sebutkan,

إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ لَا بُدَّ مَادِحًا أَخَاهُ فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلَانًا وَلَا أُزَكِّيْ عَلَى اللهِ أَحَدًا
 “ketika salah satu diantara kalian memang harus memuji, maka hendaknya di mengucapkan dengan bahasa, ‘aku menyangka fulan demikian, dan aku tidak membersihkan siapapun atas Allah’.”

[Bahaya lisan yang ke sembilan belas adalah salah dan keliru di dalam ungkapan-ungkapan yang halus] Sepantasnya  mengingatkan kesalahan-kesalahan di dalam ungkapan yang halus untuk menyampaikan maksud dari suatu perkataan dan memperingatkan agar tidak melupakan hal itu, apa lagi yang berhubungan dengan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya.

Contohnya  seperti yang di sampaikan dalam sebuah hadits yang di riwayatkan dari baginda Nabi Muhammad Saw,

لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتُ وَلَكِنْ لِيَقُلْ مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتُ
 “janganlah salah satu di antara kalian mengucapkan bahasa مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتُ (apa yang di kehendaki Allah dan yang aku kehendaki),akan tetapi hendaknya berkata dengan bahasa مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتُ  (apa yang di kehendaki Allah, kemudian yang aku kehendaki).”

Semua ini karena sesungguhnya menggunakan wau athof yang menunjukkan makna bersamaan secara muthlak akan memberi pemahaman menyekutukan dan mensetarakan, dan hal ini menyalahi aturan untuk memuliakan Allah Swt.

Imam Ibrahim tidak suka ketika mendengar orang yang berkata, “aku berlindung kepada Allah dan kepada anda. Seandainya tidak ada Allah dan tidak ada si fulan.” Dan di perkenankan mengucapkan kata-kata, “aku berlindung kepada Allah, kemudian kepada tuan. Seandainya tidak ada Allah, kemudian tidak ada si fulan.”

Dalam sebuah riwayat dari Ibn Abbas Ra berbunyi, “sesungguhnya salah satu dari kalian semua telah di sekutukan sampai di sekutukan dengan anjingnya, seperti ucapan, ‘seandainya tidak ada anjing niscaya aku akan mencuri  malam ini’.”

Sahabat Umar Ra berkata, “Rosulullah Saw bersabda, ‘sesungguhnya Allah Ta’ala melarang kalian untuk bersumpah dengan para bapak kalian’.” Umar berkata, “demi Allah, aku tidak pernah lagi bersumpah dengan nama bapak-bapakku sejak aku mendengar sabda beliau.”
Sahabat Abu Khurairah Ra berkata, “ Rosulullah Saw bersabda, ‘jangan sampai salah satu diantara kalian mengatakan Abdi (budak laki-lakiku) dan jangan mengatakan Ammati (budak perempuanku). Karena kalian semua adalah hamba Allah dan para wanita kalian adalah ammat-Nya, sehingga hendaknya mengatakan dengan bahasa Ghulami dan Jariyati. Dan jangan sampai para budak mengatakan bahasa Robbi (tuanku) dan Robbati (tuan perempuanku)’.”

[Bahaya lisan yang kedua puluh adalah pertanyaan orang-orang awam tentang hal-hal yang terlalu rumit] Di antara hak-hak orang awam adalah menyibukkan diri dengan melakukan amal sholih, hanya saja hal-hal yang tidak bermanfaat itu agak terasa ringan di hati mereka. Orang awam terkadang merasa senang berdiskusi tentang ilmu karena syetan menipu mereka dengan menggambarkan seakan-akan dia termasuk dari ulama’ dan ahli keutamaan. syetan tidak henti-hentinya mendorong dia untuk menyenangi hal tersebut hingga terkadang tidak terasa dia telah mengucapkan hal-hal yang mengandung kekufuran.

Setiap orang yang bertanya tentang ilmu yang rumit padahal kefahamannya tidak sampai pada tingkatan tersebut, maka dia termasuk orang yang tercela. Karena sesungguhnya ilmu tersebut ketika di nisbatkan pada dirinya, maka dia termasuk orang yang awam. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw melarang kita semua dari pertengkaran, menyia-nyiakan harta dan terlalu banyak bertanya. Dalam kisah Nabi Musa As dan Nabi Hidlir As telah terdapat pengingat akan larangan bertanya sebelum waktunya, karena nabi Hidlir berkata kepada Nabi Musa:

"Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".

Ketika nabi Musa bertanya tentang perahu yang di bocorkan, maka Nabi Hidlir As mengingkarinya sehingga nabi Musa pun meminta maaf dengan mengatakan :

"Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku"

dan ketika Nabi Musa sudah tidak bisa sabar hingga beliau bertanya sampai tiga kali, maka Nabi Hidlir As berkata :

"Inilah perpisahan antara aku dengan kamu”
dan berpisah dengan Nabi Musa.

Maka pertanyaan orang awam tentang hal-hal yang terlalu rumit adalah termasuk diantara bahaya-bahaya yang sangat besar, maka wajib di cegah dan di larang.

(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)

Baca juga artikel kami lainnya :  Tugas Nabi Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer