Hal-Hal Yang Memperkenankan Untuk Menggunjing Orang Lain

Ketahuilah sesungguhnya ketika tidak mungkin untuk menggapai tujuan yang benar sesuai syareat kecuali dengan menyebutkan kejelekan-kejelekan orang lain, maka di perkenankan dan tidak berdosa melakukan ghibah. Hal ini dalam beberapa keadaan. Diantaranya ketika di aniaya, yaitu orang yang teraniaya yang melaporkan orang yang menganiaya kepada seorang raja agar dia bisa mendapatkan haknya, karena tidak mungkin dia bisa mendapatkan haknya kecuali dengan mengungkapkan kedhaliman yang di lakukannya.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

إِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا
 “sesungguhnya pemilik hak berhak untuk bicara.”

Dari beliau juga di riwayatkan,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
 “menunda-nundanya orang kaya untuk melunasi hutang adalah perbuatan dzolim.”

Diantara hal yang memperbolehkan ghibah adalah meminta tolong untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan orang yang maksiat ke jalan yang benar.Diantaranya lagi adalah istifta’ (meminta fatwa). Semisal seseorang berkata kepada seorang mufti, “aku telah di dhalimi oleh ayahku, istriku, atau saudaraku.” Hal ini jika tidak memungkinkan dengan bahasa yang tidak terang-terangan atau sindiran.

Semua ini berdasarkan keterangan yang di riwayatkan dari Hindun binti ‘Utbah. Sesungguhnya beliau berkata kepada baginda Nabi Muhammad Saw, “sesungguhnya suamiku, Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikan kecukupan padaku dan anakku, apakah aku boleh untuk mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya?.” Nabi Saw menjawab, “ambillah dengan baik, apa yang bisa mencukupimu dan anakmu.” Hindun mengungkapkan sikap kikir dan kedhaliman yang menimpanya dan anaknya, namun baginda Nabi Saw tidak menegurnya, karena tujuan Hindun adalah istifta’.

    Di antaranya lagi adalah untuk menakut-nakuti orang islam dari kejelekan. Seperti ketika kamu mengetahui hal negatif dari seseorang, kemudian kamu memperingatkan orang lain akan hal negatif tersebut. Dan seperti seorang muzakki (pemeriksa saksi) yang mencacat seorang saksi ketika dia di tanya tentang saksi tersebut. Begitu juga seorang mustasyar (orang yang di ajak musyawarah) dalam urusan pernikahan atau menitipkan barang titipan ketika di tanya, maka dia harus mengungkapkan kejelekan-kejelekan orang yang hendak di nikahi atau di titipi, dengan tujuan mengharapkan kebaikan bagi orang yang mengajak musyawarah, tidak ada tujuan mencela dan menjelek-jelekkan.

    Di antaranya lagi, ketika seseorang yang terkenal dengan julukkannya yang di ambil dari kejelekannya. Semisal di juluki “si pincang” atau yang kabur penglihatan, maka tidak masalah menyebutkan julukan itu karena ada keterpaksaan untuk memberitahu. Dan juga karena sesungguhnya orang tersebut ketika sudah terkenal dengan julukan tersebut, maka dia tidak akan merasa benci kalau tahu ada yang mengungkapkan julukannya tersebut. Memang demikian, namun ketika ada cara lain dan mungkin memberitahu dengan bahasa lain yang lebih sopan, maka itu lebih baik. Oleh sebab itu, yang lebih baik ketika memanggil orang buta adalah dengan bahasa al bashir (orang yang bisa melihat), karena menghindari bahasa yang menunjukkan kekurangan.

    Di antaranya lagi adalah ketika orang yang di gunjing melakukan perbuatan fasiq secara terang-terangan dan tanpa aling-aling seakan tanpa beban, maka tidak masalah menggunjing orang tersebut atas apa yang di lakukannya secara terang-terangan.

(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)

Baca juga artikel kami lainnya :  Tugas Nabi Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer