Ketika
mushannif telah selesai menjelaskan interaksi dengan Sang Pencipta yaitu
ibadah, maka beliau bergegas menjelaskan tentang interaksi sesama makhluk.
Beliau berkata,
|
وَلَمَّا
فَرَغَ الْمُصَنِّفُ مِنْ مُعَامَلَةِ الْخَالِقِ وَهِيَ الْعِبَادَاتُ أَخَذَ بِمُعَامَلَةِ
الْخَلَائِقِ فَقَالَ :
|
dan
selainnya dari bentuk-bentuk transaksi seperti qiradl (investasi) dan syirkah
(kerjasama).
|
وَغَيْرِهَا
مِنَ الْمُعَامَلَاتِ
كَقِرَاضٍ وَشِرْكَةٍ
|
Lafadz
“al buyu’” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “bai’”.
|
وَالْبُيُوْعُ
جَمْعُ بَيْعٍ
|
Bai’ /
jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Maka
mencakup sesuatu yang bukan harta seperti khamr.
|
وَالْبَيْعُ
لُغَةً مُقَابَلَةُ شَيْئٍ بِشَيْئٍ فَدَخَلَ مَا لَيْسَ بِمَالٍ كَخَمْرٍ
|
Adapun
bai’ secara syara’, maka keterangan paling baik yang digunakan untuk
mendefinisikan adalah sesungguhnya bai’ adalah memberikan milik berupa benda
yang berharga dengan cara barter (tukar) dengan izin syara’, atau memberikan
milik berupa manfaat yang mubah untuk selamanya dengan harga berupa benda
yang bernilai.
|
وَأَمَّا
شَرْعًا فَأَحْسَنُ مَا قِيْلَ فِيْ تَعْرِيْفِهِ أَنَّهُ تَمْلِيْكُ عَيْنٍ
مَالِيَّةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِإِذْنٍ شَرْعِيٍّ أَوْ تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ
مُبَاحَةٍ عَلَى التَّأْبِيْدِ بِثَمَنٍ مَالِيٍّ
|
Dengan
bahasa “barter/tukar”, mengecualikan hutang. Dan dengan bahasa “izin syar’i”,
mengecualikan riba.
|
فَخَرَجَ
بِمُعَاوَضَةٍ الْقَرْضُ وَبِإِذْنٍ شَرْعِيٍّ الرِّبَا
|
Termasuk
di dalam manfaat adalah memberikan milik hak untuk membangun.
|
وَدَخَلَ
فِيْ مَنْفَعَةٍ تَمْلِيْكُ حَقِّ الْبِنَاءِ
|
Dengan
bahasa “tsaman/harga”, mengecualikan ongkos di dalam akad sewa, karena
sesungguhnya ujrah / ongkos tidak disebut tsanam.
|
وَخَرَجَ
بِثَمَنٍ الْأُجْرَةُ فِيْ الْإِجَارَةِ فَإِنَّهَا لَاتُسَمَّى ثَمَنًا
|
Pembagian
Jual Beli
Jual
beli ada tiga perkara.
|
(الْبُيُوْعُ ثَلَاثَةُ
أَشْيَاءَ)
|
Salah
satunya adalah menjual barang yang terlihat, maksudnya hadir -di tempat
transaksi-, maka hukumnya boleh.
|
أَحَدُهَا
(بَيْعُ عَيْنٍ مُشَاهَدَةٍ) أَيْ حَاضِرَةٍ (فَجَائِزٌ)
|
Ketika
syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu mabi’
(barang yang dijual) berupa barang yang suci, memiliki manfaat, mampu
diserahkan, dan orang yang melakukan transaksi memiliki hak untuk menguasai
barang tersebut.
|
إِذَا
وُجِدَتِ الشُّرُوْطُ مِنْ كَوْنِ الْمَبِيْعِ طَاهِرًا مُنْتَفَعًا بِهِ
مَقْدُوْرًا عَلَى تَسْلِيْمِهِ لِلْعَاقِدِ عَلَيْهِ وِلَايَةٌ
|
Di
dalam akan jual beli harus ada ijab (serah)
dan qabul (terima).
|
وَلَابُدَّ
فِيْ الْبَيْعِ مِنْ إِيْجَابٍ وَقَبُوْلٍ
|
Yang
pertama (ijab) seperti ucapan
penjual atau orang yang menempati posisinya, “aku menjual padamu” dan “aku
memberikan hak milik padamu dengan harga sekian.”
|
فَالْأَوَّلُ
كَقَوْلِ الْبَائِعِ أَوِالْقَائِمِ مَقَامَهُ "بِعْتُكَ" وَ
"مَلَّكْتُكَ بِكَذَا"
|
Yang ke
dua (qabul) seperti ucapan pembeli
atau orang yang menempati posisinya, “aku
membelinya”, dan ucapan, “aku
menerima kepemilikan” dan kata-kata yang semakna dengan keduanya.
|
وَالثَّانِيْ
كَقَوْلِ الْمُشْتَرِيْ أَوِالْقَائِمِ مَقَامَهُ "اشْتَرَيْتُ" وَ
"تَمَلَّكْتُ" وَنَحْوَهُمَا
|
Yang
kedua dari tiga macamnya jual beli adalah menjual barang yang diberi sifat
yang masih menjadi tanggungan. Dan bentuk ini disebut dengan akad salam.
|
(وَ) الثَّانِيْ مِنَ
الْأَشْيَاءِ (بَيْعُ شَيْئٍ مَوْصُوْفٍ فِيْ الذِّمَةِ) وَيُسَمَّى هَذَا
بِالسَّلَمِ
|
Maka
hukumnya boleh
ketika di dalam
akad salam tersebut telah ditemukan sifat-sifat yang digunakan untuk
mensifati, yaitu sifat-sifat akad salam yang akan dijelaskan di fasal “Salam”.
|
(فَجَائِزٌ إِذَا وُجِدَتْ) فِيْهِ (الصِّفَةُ عَلَى مَا وُصِفَ بِهِ)
مِنْ صِفَاتِ السَّلَمِ الْآتِيَةِ فِيْ فَصْلِ السَّلَمِ.
|
Bentuk yang ke tiga adalah
menjual barang samar yang tidak terlihat oleh kedua orang yang melakukan
akad. Maka menjual barang tersebut tidak boleh.
|
(وَ) الثَّالِثُ (بَيْعُ
عَيْنٍ غَائِبَةٍ لَمْ تُشَاهَدْ) لِلْعَاقِدَيْنِ (فَلَا يَجُوْزُ) بَيْعُهَا
|
Yang dikehendaki dengan
jawaz / boleh di dalam ke tiga
bentuk ini adalah sah.
|
وَالْمُرَادُ
بِالْجَوَازِ فِيْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ الصِّحَةُ
|
Sesungguhnya perkataan
mushannif, “tidak terlihat”, menunjukkan bahwa sesungguhnya jika barang yang
akan dijual sudah dilihat kemudian tidak ada saat akad berlangsung, maka
hukumnya diperbolehkan, akan tetapi hal ini bila terjadi pada barang yang
biasanya tidak sampai berubah pada masa di antara melihat dan membelinya.
|
وَقَدْ
يَشْهَدُ قَوْلُهُ لَمْ تُشَاهَدْ بِأَنَّهَا إِنْ شُوْهِدَتْ ثُمَّ غَابَتْ
عِنْدَ الْعَقْدِ أَنَّهُ يَجُوْزُ وَلَكِنْ مَحَلُّ هَذَا فِيْ عَيْنٍ لَا
تَتَغَيَّرُ غَالِبًا فِي الْمُدَّةِ الْمُتَخَلِّلَةِ بَيْنَ الرُّؤْيَةِ وَالشِّرَاءِ
|
Syarat Barang Yang Dijual
Hukumnya sah menjual setiap
barang yang suci, memiliki manfaat dan dimiliki.
|
(وَيَصِحُّ بَيْعُ كُلِّ
طَاهِرٍ مُنْتَفَعٍ بِهِ مَمْلُوْكٍ)
|
Mushannif menjelaskan mafhum dari perkara-perkara ini di
dalam perkataan beliau,
|
وَصَرَّحَ
الْمُصَنِّفُ بِمَفْهُوْمِ هَذَا الْأَشْيَاءِ فِيْ قَوْلِهِ
|
Tidak sah menjual barang
najis dan barang yang terkena najis seperti khamr, minyak, cuka yang terkena najis
dan sesamanya yaitu
barang-barang yang tidak mungkin untuk disucikan lagi.
|
(وَلَا يَصِحُّ بَيْعُ عَيْنٍ
نَجِسَةٍ) وَلَا مُتَنَجِّسَةٍ كَخَمْرٍ وَدُهْنٍ وَخَلٍّ مُتَنَجِّسٍ
وَنَحْوِهَا مِمَّا لَايُمْكِنُ تَطْهِيْرُهُ
|
Tidak sah menjual barang
yang tidak ada manfaatnya seperti kalajengking, semut, binatang buas yang
tidak bermanfaat.
|
(وَلَا) بَيْعُ (مَا لَا مَنْفَعَةَ فِيْهِ) كَعَقْرَبٍ وَنَمْلٍ وَسَبُعٍ لَايَنْفَعُ.
|
(Sumber : Kitab Fathul Qorib)
Baca juga artikel kami lainnya : Cara Mengusir Setan dan Iblis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar