Menjelaskan Kadar Ucapan Yang di Perkenankan Dalam Membela Diri

Ketahuilah sesungguhnya setiap perbuatan dhalim yang keluar dari seseorang tidak boleh di balas dengan perbuatan serupa. Maka tidak di perkenankan membalas gunjingan dengan menggunjing, membalas tajassus dengan tajassus, dan membalas cacian dengan cacian serupa, begitu juga maksiat-maksiat yang lain.

Sesungguhnya baginda Nabi Muhammad Saw melarang membalas hinaan yang di lakukan seseorang, beliau bersabda,

إِنِ امْرُؤٌ عَيَّرَكَ بِمَا فِيْكَ فَلَا تُعَيِّرْهُ بِمَا فِيْهِ
 “jika ada seseorang yang menghinamu dengan sesuatu yang memang ada pada dirimu, maka janganlah engkau menghinanya dengan sesuatu yang memang ada pada dirinya.”

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa di perkenankan membalas cacian dengan sesuatu yang tidak mengandung kebohongan, sedangkan larangan baginda Nabi untuk membalas cacian serupa itu hanya larangan makruh tanzih saja, namun yang lebih utama memang tidak melakukannya walaupun tidak berdosa jika di lakukan. Mereka berpendapat bahwa membalas cacian yang di perkenankan adalah semisal engkau mengatakan, “siapa kau, wahai orang pandir dan wahai orang bodoh?.” Karena tidak ada seorang pun kecuali di memiliki sifat bodoh, sehingga dia menyakitinya dengan sesuatu yang sama sekali tidak ada unsur kebodohongan.

Begitu juga seseorang yang membalas dengan ucapan, “hai orang yang jelek akhlaknya!”, “hai orang yang suka mencela kehormatan orang lain”, dan yang di ucapkan ini memang ada pada diri orang tersebut. Begitu juga ketika seseorang membalas cacian dengan mengatakan, “seandainya kau memiliki rasa malu, niscaya kau tidak akan mengatakan hal itu, dan sungguh di mataku perbuatanmu itu telah membuatmu hina.” Golongan ulama’ ini mengambil dasar pendapatnya dari hadits yang berbunyi, “ketika ada dua orang yang saling mencaci dengan apa yang mereka katakan maka dosa akan di tanggung oleh orang yang memulai cacian tersebut sehingga orang yang di dhalimi telah membalas.”

Baginda Nabi Saw menetapkan bahwa bagi orang yang teraniaya di perkenankan membela diri namun tidak sampai melampaui batas.

ukuran ini adalah batasan yang di perkenankan oleh golonga ulama’ tersebut. Hal ini adalah bentuk toleransi untuk menyakiti orang lain sebagai balasan dari perbuatan yang telah di lakukan orang tersebut terlebih dahulu.

Imam Al Ghozali berkata, “tidak aneh jika memang kadar seperti ini di toleran, akan tetapi yang lebih utama adalah menghindarinya, karena sesungguhnya hal itu akan menjalar  hingga luar batas toleran, dan tidak mungkin hanya sebatas kadar yang benar.”

Diam tidak menjawab sama sekali adalah sesuatu yang lebih mudah di lakukan daripada mencoba menjawab dengan menyesuaikan pada batas yang di perkenankan oleh syareat. Akan tetapi memang diantara manusia ada orang yang tidak mampu mengotrol nafsunya saat amarahnya bergejolak, namun dengan cepat amarahnya akan redam.

Dalam sebuah hadits di sebutkan,

خَيْرُ بَنِيْ آَدَمَ الْبَطِيْءُ الْغَضَبِ السَّرِيْعُ الْفَيْءِ وَشَرُّهُمُ السَّرِيْعُ الْغَضَبِ الْبَطِيْءُ الْفَيْءِ
 “anak Adam yang paling baik adalah orang yang tidak mudah marah dan ketika marah maka cepat reda. Sedangkan anak Adam yang paling jelek adalah orang yang mudah marah dan ketika marah lama redanya.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)

Baca juga artikel kami lainnya :  Pandangan Kristen Terhadap Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer