Tingkatan-Tingkatan Barang Halal dan Barang Haram

Ketahuilah sesungguhnya semua barang haram itu jelek, namun ada sebagian yang lebih jelek daripada sebagian barang haram yang lain. Semua barang halal itu baik, namun sebagian ada yang lebih baik daripada sebagian yang lain, dan lebih bersih daripada yang lain. Oleh sebab itu, sifat wirai menjauhi perkara yang haram itu ada beberapa tingkatan.

Diantaranya menjauhi setiap barang yang di fatwakan haram oleh ahli fiqh, menjauhi barang yang memungkinkan akan menjadi haram, dan menjauhi barang yang tidak diragukan kehalalannya namun khawatir akan menghantarkan kepada sesuatu yang haram maka ini termasuk meninggalkan perkara yang tidak haram karena khawatir terhadap perkara yang haram.

Diantaranya lagi adalah menjauhi perkara yang sama sekali tidak di khawatirkan akan menyebabkan sesuatu yang haram, akan tetapi barang tersebut di konsumsi karena selain Allah Swt dan tidak disertai niat agar kuat beribadah kepada-Nya, atau ada nilai makruh dan haram yang mungkin terjadi saat menghasilkan barang tersebut.

Sesungguhnya telah di ceritakan dari Imam Ibn Sirin, beliau pernah memberikan empat ribu dirham kepada rekan bisnisnya, karena dalam hati beliau terdapat sesuatu yang tidak nyaman, padahal semua ulama’ sepakat bahwa hal tersebut tidak bermasalah. Ada sebagian ulama’ memiliki seratus dirham yang di hutang oleh seseorang. Saat orang tersebut melunasi hutangnya, maka ulama’ tersebut hanya mengambil sembilan puluh sembilan dirham, dan tidak mengambil semuanya karena khawatir melebihi dari haknya. Ada sebagian ulama yang berprofesi sebagai pedagang. Setiap membeli, beliau selalu mengurangi satu biji dari ukuran semestinya. Dan setiap menjual, beliau menambah satu biji dari ukuran semestinya.

Di antara bentuk wira’I adalah menghindari barang-barang yang sudah di maklumi oleh orang banyak (tasamuh). Walaupun hukum barang tersebut di fatwakan halal, namun di jauhi karena khawatir akan menarik untuk mengambil perkara yang lain -yang tidak di maklumi orang banyak-. Sedangkan nafsu itu suka untuk di umbar dan tidak wira’i. Sebagaimana sifat wira’I yang di lakukan oleh sebagian ulama’, yaitu mereka menghindari dari mengambil debu yang terdapat di dinding rumah yang mereka sewa.

Sebagaimana riwayat tentang Umar bin Abdul ‘Aziz. Suatu ketika pernah ada yang menimbang minyak wangi untuk kaum muslimin di depan beliau, kemudian beliau menutup hidung agar tidak ada yang tercium. Ketika ada yang merasa aneh dengan apa yang beliau lakukan, maka beliau berkata, “bukankah yang di ambil manfaat dari minyak itu hanyalah baunya saja!!!”.

Sebagian bentuk wira’I adalah yang di tunjukkan dalam sebuah kisah, bahwa ada sebagian ulama’ berada di dekat orang yang sedang sekarat dan kemudian meninggal dunia di malam hari. Sebagian ulama’ tersebut berkata, “matikan lampunya, karena sesungguhnya pada minyak tersebut terdapat hak bagi ahli waris ”.

Saat masih kecil, Sayyidina Hasan Ra pernah mengambil satu buah kurma zakat, maka baginda Nabi Muhammad Saw langsung bersabda padanya, “buang kurma itu ”. Sahabat Abu Bakar Ra pernah memuntahkan air susu pemberian budaknya yang di hasilkan dari meramal. Abu Bakar melakukan hal itu karena khawatir barang haram tersebut akan menjadi kekuatan di dalam badan. Padahal beliau meminumnya tanpa tahu yang sebenarnya sehingga tidak wajib  untuk di muntahkan, akan tetapi mengosongkan perut dari barang yang jelek itu termasuk bentuk Wira’i orang-orang shidiqin.

Secara global, ketika seorang hamba semakin berhati-hati atas dirinya, maka semakin ringan bebannya di hari kiamat, dan semakin jauh timbangan amal jeleknya akan bisa mengalahkan timbangan amal baiknya. Setelah engkau tahu kenyataan seperti ini, maka terserah padamu, ingin lebih berhati-hati atau tidak. Jika berhati-hati, maka manfaatnya pada dirimu. Dan jika tidak berhati-hati, maka akibatnya juga pada dirimu. Wassalam.
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)

Baca juga artikel kami lainnya :  Sifat Nabi dan Rasul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer