Tingkatan Barang-Barang Syubhat

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِعَرْضِهِ وَدِيْنِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِيْ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الْحَرَامِ كَالرَّاعِيْ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ
 “perkara halal itu telah jelas, perkara haram itu juga jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak di ketahui oleh kebanyakan orang. Orang yang menjauhi perkara-perkara syubhat, maka sesungguhnya dia menyelamatkan harga diri dan agamanya. Sedangkan orang yang jatuh dalam perkara syubhat, maka dia akan jatuh ke perkara haram, seperti orang yang mengembalakan binatang ternaknya di dekat bumi larangan, maka sangat rentan jatuh di bumi larangan tersebut.”

Hadits ini secara tegas menetapkan tiga bagian. Sedangkan yang paling sulit adalah bagian tengah-tengah yang tidak di ketahui oleh kebanyakan orang, yaitu perkara syubhat. karena sesuatu yang tidak di ketahui oleh orang banyak berarti yang mengetahui hanya sedikit, maka akan saya jelaskan,

    Barang halal mutlak adalah barang yang dzatnya terbebas dari sifat-sifat yang bisa menetapkan hukum haram, dan cara menghasilkannya terhindar dari sesuatu yang haram dan makruh.

    Barang haram murni adalah barang-barang yang memiliki sifat yang menjadikan haram dan tidak di ragukan lagi, seperti khamr karena memabukkan dan kencing karena najis. Atau barang yang di hasilkan dengan cara yang di pastikan haram, seperti barang yang di hasilkan dengan cara dhalim, riba dan sesamanya.

    Dua bagian ini sudah jelas. Termasuk dari dua bagian ini adalah barang-barang yang sudah di pastikan hukumnya akan tetapi ada kemungkinan hukumnya berubah, namun tidak ada sesuatu yang menunjukkan kemungkinan tersebut, sedangkan kemungkinan yang tidak di sertai dengan sesuatu yang menunjukkannya, maka kemungkinan tersebut di anggap tidak ada.

    Adapun perkara syubhat adalah perkara yang masih tidak jelas hakikatnya. Dengan arti kita memiliki dua kemungkinan dalam barang tersebut yang muncul dari dua sebab yang menghantarkan pada dua kemungkinan tersebut.

    Ada beberapa hal yang mengantarkan ke hukum syubhat.

Pertama, keraguan terhadap sebab yang bisa menghalalkan dan yang mengharamkan perkara tersebut. Jika taraf kedua kemungkinan itu sama, maka hukumnya di sesuaikan dengan hukum yang telah di ketahui sebelum terjadi keraguan, sedangkan keraguannya di abaikan. Jika taraf salah satu kemungkinan itu lebih kuat karena ada hal-hal yang mendukung dan dapat di terima, maka hukumnya di sesuaikan dengan kemungkinan yang kuat. Hal ini tidak jelas kecuali dengan menampilkan beberapa contoh dan dalil, maka saya akan membaginya menjadi empat :

Pertama, hukum haram telah di ketahui sebelum terjadi keraguan atas keberadaan sesuatu yang menghalalkannya. Bagian ini adalah bentuk syubhat yang harus di jauhi dan haram untuk di terjang.

Kedua, sebelumnya telah di ketahui halal kemudian timbul keraguan terhadap sesuatu yang menyebabkan haram. Sehingga hukum asalnya adalah halal, dan itulah hukumnya.

Ketiga, perkara yang hukum asalnya haram akan tetapi kemudian muncul sesuatu yang menetapkan kehalalannya berdasarkan dugaan yang kuat. Bagian ketiga ini masih di ragukan, namun biasanya hukumnya halal, sehingga perlu di perinci.

Jika dugaan kuat itu berdasar pada sebab yang di terima secara syar’i, maka hukum yang di pilih pada perkara tersebut adalah halal, namun menjauhinya termasuk dari sifat wira’i.

Contohnya seseorang memanah binatang buruan yang kemudian lari. Setelah itu dia menemukan binatang tersebut dalam keadaan mati dan tidak ada luka di tubuhnya selain luka panah tersebut, namun ada kemungkinan binatang itu mati karena jatuh atau sebab yang lain, maka hukum yang di pilih pada binatang tersebut adalah halal. Karena sesungguhnya luka panah yang terdapat pada tubuhnya merupakan sebab dhohir yang terjadi secara nyata, sedangkan hukum asalnya adalah tidak terjadi sebab-sebab yang lain. Sehingga terjadinya sebab yang lain masih diragukan dan tidak bisa mengalahkan sebab yang yaqin telah terjadi.

Ke empat, perkara yang telah di ketahui kehalalannya, akan tetapi kemudian muncul dugaan kuat terhadap adanya sesuatu yang mengharamkan berdasarkan sebab yang bisa di terima secara syar’i. Hukum asal perkara tersebut –halal- tidak dipakai, bahkan perkara tersebut di hukumi haram.

Contohnya ijtihad seseorang yang mengantarkan terhadap najisnya salah satu dari dua wadah air dengan berdasar pada tanda-tanda tertentu yang menetapkan dugaan kuat. Maka tanda-tanda tersebut menetapkan hukum haram meminum air di dalam wadah itu, sebagaimana menetapkan hukum tidak di perkenankan wudlu’ dengan air tersebut.

Sumber syubhat kedua adalah keraguan yang di sebabkan oleh percampuran. Yaitu tercampurnya perkara haram dengan perkara halal sehingga serupa dan tidak bisa di bedakan. Ada beberapa macam percampuran, yaitu percampuran dengan jumlah terhitung, seperti satu bangkai campur dengan satu atau sepuluh binatang yang di sembelih secara Syar’i, atau satu wanita yang mempunyai nasab rodlo’ yang campur dengan sepuluh wanita yang halal di nikah. Ini adalah bentuk syubhat yang wajib di jauhi secara ijma’. Karena dalam keadaan ini, tidak ada peluang untuk melakukan ijtihad dengan berdasar pada tanda-tanda yang ada.

Ketika satu wanita yang satu susuan campur dengan wanita yang terhitung jumlahnya, maka semuanya seakan satu, sehingga terjadi tarik ulur antara keyaqinan hukum haram dan keyaqinan hukum halal, oleh sebab itu istishab ¬-mengambil hukum asal- menjadi lemah, sedangkan sisi haram itu lebih kuat dalam pandangan syareat yang sehingga lebih di unggulkan.

Bentuk kedua adalah percampuran antara perkara haram yang terhitung jumlahnya dengan perkara halal yang tidak terhitung, seperti satu atau sepuluh wanita satu susuan yang bercampur dengan seluruh penduduk wanita daerah yang luas. Maka hal ini tidak mengharuskan untuk tidak menikah dengan penduduk daerah tersebut, akan tetapi bagi dia -orang yang ragu-ragu- di perbolehkan menikah dengan wanita dari mereka.

Hukum seperti ini karena adanya dua hal yang bersamaan, yaitu dugaan kuat akan hukum halal dan adanya hajat. Karena setiap orang yang kehilangan orang yang satu susuan, kerabat atau mahram, baik sebab pernikahan atau sebab yang lain, maka tidak mungkin baginya di larang untuk menikah. Begitu juga orang yang mengetahui bahwa harta di dunia ini pasti tercampur dengan harta yang haram, maka baginya tidak wajib meninggalkan jual beli dan mengkonsumsi makanan, karena sesungguhnya hal tersebut sangatlah berat, sedangkan dalam agama islam tidak terdapat kesulitan.

Hukum semacam ini di tetapkan karena sesungguhnya di masa baginda Nabi Muhammad Saw pernah terjadi pencurian satu perisai dan ada salah seorang yang mencuri satu kain sutra tebal dari hasil rampasan perang, namun tidak seorang pun yang di larang untuk membeli perisai dan sutra tebal di dunia. Begitu juga barang-barang curian yang lain -yang telah tercampur dengan barang sejenisnya yang tidak harama-. Begitu juga telah di ketahui secara pasti bahwa di antara manusia ada yang melakukan prakter riba di dalam dirham atau dinar, namun baginda Rosulullah Saw dan orang-orang tidak meninggalkan dirham dan dinar secara keseluruhan.

Sedangkan ketika perkara haram yang tidak terhitung tercampur dengan perkara halal yang juga tidak terhitung sebagaimana uang yang terdapat sekarang ini, maka sesungguhnya tidak haram untuk menggunakan uang yang di mungkinkan haram dan mungkin halal, kecuali terdapat tanda pada barang tersebut yang menunjukkan bahwa barang tersebut haram.

Ucapan seseorang yang berbunyi, “kebanyakan harta yang ada sekarang ini adalah haram”, adalah bentuk kesalahan yang muncul dari anggapan bahwa kerusakan telah menyebar luas, dan terlalu membesar-besarkan kerusakan tersebut walaupun hal tersebut jarang terjadi. Sehingga terkadang dia menyangka bahwa para pezina dan pemabuk itu telah menyebar luas sebagaimana tersebar luasnya perkara yang haram, akibatnya dia membanyangkan bahwa para pezina dan pemabuk adalah golongan mayoritas. Ini adalah anggapan yang salah, karena sesungguhnya mereka -pezina dan pemabuk- adalah golongan minoritas walaupun jumlahnya juga banyak. Secara umum hukum asal semua barang adalah halal, dan hukum ini tidak akan hilang kecuali ada tanda-tanda tertentu yang mengharamkan.

Sumber syubhat ke tiga adalah kemaksiatan yang bersamaan dengan sebab-sebab yang halal. Seperti jual beli saat adzan Jum’at, menyembelih dengan pisau gosoban, menjual barang yang sudah akan di jual pada yang lain (bai’ ala bai’), dan manawar barang yang sudah di tawar orang lain serta sudah akan di jual (saum ala saum).

Setiap larangan yang terdapat di dalam akad namun tidak menunjukkan terhadap batalnya akad tersebut -jika larangan itu di terjang-, maka sesungguhnya menjauhi semua larangan itu merupakan bentuk wira’I, karena sesungguhnya mengambil hasil dari perbuatan-perbuatan ini hukumnya makruh, sedangkan makruh itu menyerupai haram.

Seperti halnya di atas adalah setiap transaksi yang berdampak pada kemaksiatan, seperti menjual anggur kepada produsen khomr dan menjual pedang pada promocora. Ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi syah dan tidaknya akad, serta halal dan tidaknya hasil dari akad tersebut.

Menurut pendapat yang lebih sesuai dengan qiyas, sesungguhnya akad tersebut hukumnya syah dan hasilnya halal, namun pelakunya bermaksiat dengan melakukan akad tersebut, sebagaimana orang yang bermaksiat sebab menyembelih dengan pisau gashab, walapun binatang sembelihannya tetap halal.

Hukum demikian ini karena sesungguhnya dia telah melakukan maksiat sebab telah menolong kemaksiatan, namun kemaksiatan itu tidak berhubungan dengan dzatiyah akad. Sedangkan hasil dari transaksi seperti ini hukumnya sangat makruh, dan meninggalkannya merupakan bentuk wira’i.

Pengingat

    Bagi seseorang hendaknya tidak menyibukkan diri dengan hal-hal wira’i yang terlalu dalam kecuali di tuntun oleh orang alim yang betul-betul mumpuni. Karena sesungguhnya ketika dia melampaui batas semestinya dan melakukan amalan hati tanpa mendengar langsung dari seorang guru, maka dampak negatif yang akan di tanggungnya lebih banyak daripada sesuatu yang baik baginya. Orang-orang yang terlalu berlebihan adalah golongan yang di khawatirkan masuk dalam firman Allah Swt dalam surat Kahfi ayat 104 :
  
Artinya : “ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya ”.

Oleh sebab itu, baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِيْ عَلَى أَدْنَى رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِيْ
“keutaman orang alim di banding ahli ibadah -yang tidak alim- itu seperti keutamaanku di atas lelaki yang paling rendah derajatnya dari para sahabatku.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)

Baca juga artikel kami lainnya :  Sifat Nabi dan Rasul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer