Membahas dan Bertanya Status Halal dan Haram

Ketahuilah sesungguhnya setiap orang yang memberi makanan atau hadiah padamu, atau engkau hendak membeli atau menerima pemberian darinya, maka bagimu tidak layak untuk meneliti dan bertanya tentag status barang yang akan di engkau terima dengan mengatakan, “aku belum yaqin atas kehalalan barang ini sehingga aku tidak akan mengambilnya bahkan akan ku telitih terlebih dahulu.” Namun kamu juga tidak meninggalkan secara mutlak untuk meneliti, akan tetapi bertanya yang memang perlu di tanyakan dalam kondisi-kondisi yang meragukan.

Munculnya keraguan di tinjau dari pemilik harta adalah status orang tersebut masih di ragukan atau di ketahui –kejelekannya- dengan dugaan yang berdasar pada petunjuk. Dan ditinjau dari harta adalah harta yang haram campur dengan harta halal, dan jumlah yang haram lebih banyak serta yaqin akan keberadaannya.

Ketika harta yang haram lebih sedikit dan mungkin pas waktu itu tidak ada, maka tidak haram untuk mengkonsumsinya, akan tetapi bertanya terlebih dahulu adalah bentuk kehati-hatian, dan menghindarinya adalah bentuk wira’i. Pemilik harta hanya layak di tanya jika memang bukan merupakan orang yang di ragukan kemampuannya. Jika di perkirakan bahwa dia tidak mengerti cara mencari penghasilan yang halal, atau tidak dapat di pegang ucapan dan amanahnya, maka hendaknya bertanya pada orang yang lain.

Jika yang memberi khabar adalah satu orang adil, maka dapat langsung di terima. Jika yang memberi khabar adalah orang fasiq yang dhohirnya tidak berbohong karena memang tidak memiliki tujuan apa-apa dalam memberikan berita, maka baginya di perkenankan untuk menerimanya. Karena sesungguhnya yang di cari adalah kemantapan hati, sehingga dalam hal seperti ini yang paling berperan untuk memberikan fatwa / ketetapan adalah hati. Hati memiliki kemampuan untuk melihat terhadap tanda-tanda samar yang tidak bisa di capai oleh ucapan lisan, maka hendaknya dia merenungkannya. Ketika hati mantap dan tenang, maka menjaga diri hukumnya adalah wajib.

Cara Orang Taubat Untuk Keluar Dari Lingkaran Harta-Harta Dhalim

    Ketahuilah sesungguhnya setiap orang yang taubat dan mempunyai harta yang campur aduk, maka dia harus memisahkan harta yang haram dan mengeluarkannya. Dan tugasnya lagi adalah tentang tempat pentasarufannya. Maka orang tersebut harus memperhatikan keduanya.

    Perhatian pertama adalah cara memisahkan harta haram dan mengeluarkannya. Orang taubat yang memegang harta haram dan telah di ketahui barangnya, baik dari ghosob, titipan atau yang lain, maka urusannya mudah yaitu hanya memisahkannya saja.

Jika harta haram itu serupa dan bercampur dengan harta yang lain, maka adakalanya berupa barang yang bentuknya sama dengan yang lain seperti biji-bijian, uang dan miyak, atau berupa barang yang bentuknya berbeda dengan barang yang lain seperti rumah dan baju, maka, jika harta yang haram menjadi satu dengan barang yang sejenis atau campur aduk di dalam seluruh harta yang di miliki, seperti orang yang mendapatkan harta dengan berdagang dan sebagiannya di hasilkan dengan cara berbohong. Dan seperti orang yang mencampur minyak orang lain dengan miyaknya sendiri, begitupula yang di lakukan pada biji-bijian, dirham dan dinar, maka, jika barang yang haram telah di ketahui jumlahnya, semisal dia mengetahui bahwa separuh dari seluruh hartanya adalah haram, maka wajib baginya untuk memisahkan separuh dari hartanya.

Jika jumlahnya belum di ketahui secara pasti, maka ada dua cara yang bisa di lakukan olehnya, yaitu menyisihkan sebagian dengan secara yaqin -telah memenuhi yang haram-, atau menyisihkan dengan dugaan yang kuat. Adapun cara yang wira’i adalah cara yang pertama, karena dia tidak akan mengkonsumsi kecuali kadar harta yang telah di yaqini halal.

Permasalahan

    Barang siapa mendapatkan warisan dan tidak tahu dari mana harta tersebut di hasilkan oleh orang yang di waris –cara   halal ataukah haram-, serta tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan, maka ulama’ sepakat bahwa harta tersebut adalah halal.

Jika tahu bahwa sebagian harta warisan itu haram namun masih ragu-ragu berapa jumlahnya, maka berusaha sekuat tenaga untuk menyisihkan harta yang haram. Jika tahu bahwa sebagian dari harta orang yang di waris di hasilkan dengan cara dhalim, maka wajib mengeluarkan kadar harta tersebut dengan ijtihad. Namun ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa tidak wajib mengeluarkan sebagian harta tersebut, sedangkan dosanya di tanggung oleh orang yang di waris.

    Perhatian kedua tentang tempat pentasyarufan harta haram tersebut. Ketika hendak mengeluarkan harta haram, maka ada tiga keadaan. Yaitu adakalanya harta itu di ketahui pemiliknya secara pasti. Untuk bagian pertama ini, maka wajib di berikan padanya atau ahli warisnya. Jika pemiliknya sedang tidak di tempat, maka di nanti kedatangannya atau di antarkan ke tempatnya. Jika harta haram tersebut berkembang dan bertambah, maka hendaknya di kumpulkan semuanya dan di berikan saat pemiliknya datang.

Adakalanya harta haram itu tidak di ketahui pemiliknya secara pasti, tidak ada harapan untuk mencarinya, dan tidak di ketahui apakah dia sudah mati dan meninggalkan ahli waris ataukah tidak. Maka harta ini tidak mungkin untuk di kembalikan ke pemiliknya, sehingga di pending dulu hingga nampak jelas apa yang harus di lakukan pada harta tersebut.

Dan terkadang tidak mungkin di kembalikan karena terlalu banyak  pemiliknya. Maka hendaknya yang di lakukan adalah mensedekahkannya, agar tidak terbuang sia-sia dan masih bisa di manfaatkan.
Dan di perkenankan Baginya -pemegang harta haram itu- untuk mensedekahkan pada dirinya sendiri dan keluarganya jika memang dia termasuk orang faqir.
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)

Baca juga artikel kami lainnya :  Sifat Nabi dan Rasul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer