Kewajiban Adil dan Menjauhi Perbuatan Dhalim Saat Bekerja

Ketahuilah sesungguhnya bekerja itu terkadang di lakukan dengan cara yang mengandung  kedhaliman, yang mana orang yang melakukannya akan menghadapi murka Allah Swt. Yang di kehendaki dengan perbuatan dhalim ini adalah sesuatu yang bisa merugikan orang lain. Perbuatan dhalim ini terbagi menjadi dua, yaitu sesuatu yang dampaknya luas dan sesuatu yang dampaknya hanya pada orang yang melakukan transaksi.

    [ bagian pertama menjelaskan sesuatu yang dampak negatifnya luas. bagian ini memiliki beberapa macam ]

    Pertama, menimbun. Menimbun makanan yang di lakukan oleh penjual guna menanti harga mahal itu termasuk bentuk kedhaliman yang dampaknya luas, dan orang yang melakukannya di cela oleh syareat. Hal ini jika di lakukan saat persediaan makanan sedikit dan banyak orang yang membutuhkannya, sehingga menimbun dan menundah penjualan akan berdampak negatif yang luas.

Sedangkan jika menimbun saat stok makanan banyak dan manusia tidak begitu membutuhkan serta tidak mau membeli kecuali dengan harga yang murah, dan dia menanti harga mahal tanpa menunggu hingga waktu yang sangat mendesak –paceklik-, maka hal ini tidak di anggap idlrar –menyulitkan orang lain-. Adapun menimbun di waktu paceklik yang bisa menimbulkan idlrar, maka  tidak di ragukan lagi bahwa hukumnya adalah haram.

    Walaupun tidak sampai idlrar, namun menimbun makanan penguat badan tidak bisa terlepas dari hukum makruh. Karena sesungguhnya orang yang melakukan hal itu sama dengan menanti permulaan dlirar pada orang lain, yaitu menanti harga mahal. Menanti permulaan dlirar pada orang lain itu di larang sebagaimana menanti dlirar itu sendiri, namun tarafnya di bawah dlirar tersebut. Begitu juga menanti dlirar itu tarafnya di bawah idlrar -merugikan orang lain-. Sesuai dengan perbedaan ukuran idlrar, maka berbeda-beda pula tingkatan makruh dan haramnya.

    Kedua, mengedarkan uang palsu. Hal ini adalah bentuk kedhaliman, sebab bagi orang yang tidak mengetahuinya, maka dia akan di rugikan, dan jika tahu maka diapun akan memebelanjakannya pada orang lain, sehingga uang palsu tersebut akan selalu berpindah-pindah dari tangan ketangan yang lain, kerugian dan kerusakan akan meluas. Sedangkan dosa dan balasan atas semua orang yang membelanjakanya akan di tanggung oleh orang pertama yang membelanjakan, karena sesungguhnya dialah yang memulai semuanya.

Sebagian ulama’ berkata, “membelanjakan satu dirham uang palsu itu lebih berat daripada mencuri seratus dirham. Karena sesungguhnya mencuri hanya satu kemaksiatan yang selesai dan terputus -setelah mencuri tersebut-, sedangkan maksiat mengedarkan uang palsu terkadang dosanya akan selalu mengalir setelah pengedarnya mati, hingga seratus atau dua ratus tahun sampai uang palsu tersebut musnah, dan dia tetap menanggung dosa atas kerugian uang orang banyak ”.

Sungguh beruntung orang yang meninggal dunia dan dosanya ikut mati -tidak punya dosa-. Dan sungguh celaka orang yang meninggal dunia sedangkan dosanya tetap mengalir hingga seratus tahun atau lebih. Dia di siksa di dalam kubur atas dosa-dosa tersebut, dan selalu di tanya tentang perbuatannya itu, hingga dosa-dosa tersebut habis musnah. Allah Swt berfirman dalam surat Yasiin ayat 12 :

Artinya : “ dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan ”.

Yaitu aku (Allah) juga menulis dampak-dampak dari amal perbuatan manusia yang telah mereka tinggalkan, sebagaimana aku (Allah) menulis amal perbuatan mereka.

Seperti halnya ayat di atas, adalah firman Allah Swt dalam surat Al Qiyamah ayat 13 :

Artinya : “ pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya ”.

Yang dia tinggalkan hanyalah bekas-bekas dari perbuatannya yang jelek yang terus di lakukan oleh orang lain.

Ada beberapa hal di dalam permasalahan uang palsu. Diantaranya adalah, ketika ada uang palsu yang berada ditangannya, maka hendaknya di buang ke sumur sekira tidak ada tangan yang bisa mengambilnya lagi, dan jangan sampai ia gunakan transaksi lagi. Jika dia merusak uang tersebut sehingga tidak bisa di gunakan untuk transaksi, maka tidak apa-apa.

Diantaranya lagi adalah bagi pedagang wajib belajar tentang uang agar dia tidak sampai menyerahkan uang palsu pada seseorang sedangkan dia sendiri tidak tahu, sehingga dia juga ikut berdosa karena kecerobohannya tidak belajar tentang ilmu ini. Setiap perbuatan yang memiliki ilmu yang menyempurnakan kebaikan kepada orang islam, maka wajib untuk di pelajari.

Diantaranya lagi adalah, sesungguhnya jika dia mengetahui bahwa ada bagian uang yang kadarnya di bawah uang yang berlaku di pasaran, maka wajib memberitahukan kepada orang yang melakukan transaksi dengannya, dan dia tidak menggunakannya untuk transaksi kecuali dengan orang yang tidak menghalalkan untuk membelanjakan uang tersebut dengan penipuan. Sedangkan orang yang menghalalkan cara penipuan, maka menyerahkan uang tersebut padanya sama saja dengan memberi peluang untuk melakukan kerusakan, seperti menjual anggur pada orang yang telah di ketahui akan membuat khomr dari anggur tersebut. Hal ini hukumnya di larang dan di anggap menolong kepada kejelekan dan ikut andil di dalamnya.

Melewati jalur yang benar dengan hal seperti di atas dalam berdagang, itu lebih berat daripada melakukan ibadah sunnah secara terus menerus dan mencurahkan waktu untuk melakukannya.

    [ bagian kedua adalah sesuatu yang kerugiannya hanya berdampak pada orang yang melakukan transaksi saja ]

    Setiap bentuk perbuatan yang bisa merugikan orang yang melakukan transaksi adalah dhalim. Sedangkan adil hanya bisa di capai dengan melakukan sesuatu yang tidak merugikan saudara sesama muslim. Batasan secara umum dalam hal ini adalah hendaknya seseorang tidak suka melakukan sesuatu pada saudaranya kecuali dengan sesuatu yang dia suka bila di lakukan pada dirinya.

Setiap sesuatu yang di lakukan pada dirinya dan dia merasa berat dan tidak yaman di dalam hati, maka hendaknya tidak ia lakukan pada orang lain, bahkan hendaknya dia merasa bahwa uangnya sama dengan uang orang lain. Ini adalah keterangan secara global dalam bagian kedua, sedangkan keterangan secara terperinci ada empat perkara :

    Pertama, tidak memuji harta jualannya dengan menyebutkan hal-hal yang sebenarnya tidak ada, karena yang seperti ini adalah berbohong. Jika pembeli menerima dan membelinya, maka ini termasuk penipuan dan bentuk kedhaliman. Dan jika tidak sampai membeli, maka dia telah berbohong dan bisa menjatuhkan harga diri. Adapun memuji barang jualan dengan menyebutkan sifat-sifat yang memang ada, tanpa melebih-lebihkan dan memperpanjang kata, maka hukumnya tidak masalah.

Hendaknya sama sekali tidak bersumpah atas harga dagangannya. Karena sesungguhnya jika berbohong, maka sesungguhnya dia telah melakukan sumpah palsu yang termasuk dari golongan dosa besar. Dan jika sumpahnya memang benar, maka sesungguhnya dia telah menjadikan Allah Swt sebagai sasaran sumpahnya, dan dia telah melakukan kejelekan dalam hal ini, karena dunia terlalu hina jika ingin laku dengan menyebutkan nama Allah Swt dalam keadaan tidak darurat.

Dalam sebuah hadits di sebutkan,
وَيْلٌ لِلتَّاجِرِ مِنْ بَلَى وَاللهِ وَلَا وَاللهِ وَوَيْلٌ لِلصَّانِعِ مِنْ غَدٍّ وَبَعْدَ غَدٍّ
 “celakalah seorang pedagang yang mengatakan, ‘بلى والله (iya demi Allah),  لا والله (tidak demi Allah).’ Dan celakalah seorang pekerja yang selalu mengatakan, ‘besok dan besok’.”
Dalam sebuah hadits lain di sebutkan,
الْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ مُنْفِقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْكَسْبِ
 “sumpah palsu bisa menghabiskan harta dan menghilangkan keberkahan sebuah pekerjaan.”

    Kedua, menjelaskan semua cacat yang terdapat pada barang yang di jual, baik yang samar atau yang nampak jelas, dan tidak menyembunyikannya sama sekali. Hal ini hukumnya wajib. Jika menyembunyikan cacat-cacat tersebut, maka dia adalah orang yang dhalim dan menipu, sedangkan hukum menipu adalah haram. Dan dia bukan orang yang mengharapkan kebaikan dalam melakukan transaksi, padahal hukum mengharapkan kebaikan adalah wajib.

Ketika dia menampakkan bagian yang terbaik dari baju dan menyamarkan bagian yang jelek, maka dia termasuk orang yang menipu. Begitu pula jika dia menawarkan pakaian di tempat-tempat yang gelap, atau menawarkan satu bagian yang terbaik dari muza, sandal dan sesamanya.

    Yang menunjukkan keharaman menipu adalah riwayat yang menjelaskan bahwa sesungguhnya baginda Nabi Muhammad Saw pernah bertemu dengan seorang lelaki yang sedang menjual makanan. Beliau tertarik dengan makanan tersebut, kemudian beliau memasukkan tangannya ke makanan tersebut dan menemukan basah-basah di dalamnya. Beliau bertanya, “apakah basah-basah ini?.” Lelaki itu menjawab, “makanan yang basah itu terkena air hujan.”
فَهَلَّا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ حَتَّى يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
 “ kenapa yang basah ini tidak kau letakkan diatas sehingga orang-orang bisa melihatnya. Barang siapa melakukan penipuan pada kita, maka dia bukan golonganku,” lanjut beliau Nabi Saw.

    Yang menunjukkan kewajiban untuk mengharapkan kebaikan dengan menunjukkan semua cacat, adalah riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sesungguhnya ketika baginda Nabi Muhammad Saw membaiat sahabat Jarir, dan ketika dia hendak meninggalkan tempat, maka Nabi menariknya dan memerintahkan agar dia selalu mengharapkan kebaikan untuk setiap orang islam, dan diapun mematuhi perintah beliau Nabi.

Setiap akan menjual dagangannya, maka sahabat Jarir menjelaskan semua cacat yang ada, kemudian memberi pilihan pada orang yang hendak membeli seraya berkata, “jika anda berminat, maka silahkan beli, dan jika tidak berminat, maka tidak apa-apa!.” Ada yang berkata padanya, “jika engkau melakukan hal seperti ini niscaya jualanmu tidak akan laku!”. Jarir Ra menjawab, “sesungguhnya aku telah baiat kepada Rosulullah Saw agar aku selalu mengharap kebaikan untuk setiap orang islam.”

    Suatu ketika Watsilah ibn al Asqo’ berdiri di suatu tempat, kemudian ada seorang lelaki yang menjual ontanya dengan harga tiga ratus dirham kepada orang laki-laki yang lain. Setelah lelaki itu pergi, Watsilah lupa tidak memberitahukan cacat onta tersebut. Lalu beliau memanggil lelaki tersebut, “ wahai kisanak, anda membeli onta tersebut karena dagingnya atau karena akan di jadikan kendaraan?.” “karena akan aku jadikan kendaraan”, jawab lelaki tersebut. “Sesungguhnya aku mengetahui di telapak kaki onta itu ada lubang / kudisnya, dia tidak akan bisa berjalan dengan cepat terus menerus ”, lanjut Watsilah.

Lelaki tersebut kembali dan mengembalikan ontanya, sehingga sang penjual menurunkan harganya seratus dirham. Sang penjual berkata pada watsilah, “semoga Allah merahmatimu, karena engkau telah mengggagalkan transaksiku, karena sesungguhnya aku telah baiat pada Rosulullah Saw agar selalu mengharapkan kebaikan untuk setiap orang islam.” Watsilah Ra berkata, “aku telah mendengar sabda Rosulullah Saw, ‘tidak halal bagi seorang yang menjual sesuatu kecuali menjelaskan cacatnya. Dan tidak halal bagi sesorang yang mengetahui cacat tersebut kecuali dia memberitahukan dan menjelaskannya.”

    Sesungguhnya para sahabat memahami bahwa yang di kehendaki dengan nushi -mengharapkan kebaikan- adalah tidak rela jika terjadi sesuatu pada saudaranya kecuali sesuatu yang dia relakan terjadi pada dirinya sendiri. Para sahabat tidak menganggap bahwa hal itu hanya sekedar keutamaan dan tambahan dari kewajiban, bahkan mereka meyaqini bahwa hal itu termasuk dari syarat-syarat islam yang tercakup dalam baiat kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

    Walaupun hal ini berat dalam hati, namun akan mudah di lakukan oleh seorang hamba dengan cara meyaqini dua perkara :

    Pertama, meyaqini bahwa sesungguhnya menyembunyikan cacat agar barang dagangannya mudah laku, itu tidak akan bisa menambah rizki, bahkan akan menghabiskan dan menghilangkan berkahnya. Terkadang Allah Swt memusnahkan harta yang terkumpul dengan berbagai penipuan hanya dalam sekejap.

Di kisahkan sesungguhnya ada seorang laki-laki yang memiliki sapi perah. Dia memerah susunya dan mencampurnya dengan air untuk di jual. Kemudian datang banjir hingga menenggelamkan sapinya. Sebagian anak lelaki tersebut berkata, “sesungguhnya air yang menenggelamkan ini adalah air yang kami masukkan kedalam susu. Air tersebut terkumpul jadi satu hingga menenggelamkan sapi tersebut ”.

Hal ini tidaklah aneh, sebab baginda Nabi Muhammad Saw sudah bersabda,
الْبَيْعَانِ إِذَا صَدُقَا وَنَصَحَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَإِذَا كَتَمَا وَكَذِبَا نُزِعَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
 “ketika dua orang yang melakukan transaksi itu jujur dan mengharapkan kebaikan, maka transaksi keduanya akan mendapat berkah. Sedangkan ketika keduanya menyembunyikan cacat dan berbohong, maka berkah dari transaksi mereka akan di cabut -di hilangkan-.”

Dalam sebuah hadits di sebutkan,
يَدُّ اللهِ عَلَى الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَتَخَاوَنَا فَإِذَا تَخَاوَنَا رَفَعَ يَدَّهُ عَنْهُمَا
 “Allah akan selalu menjaga dua orang yang menjalin kerjasama selama mereka tidak saling menghianati. Ketika mereka saling berhianat, maka Allah menghilangkan perlindungan-Nya dari mereka.”
Kalau demikian, maka sesungguhnya harta tidak akan bertambah banyak dengan melakukan penipuan sebagaimana harta tidak akan berkuran sebab bersedekah.

    Kedua, sesuatu yang harus di yaqini agar nushi menjadi sempurna dan mudah di laksanakan adalah, meyaqini sesungguhnya keuntungan dan kekayaan di akhirat itu lebih baik daripada yang ada di dunia. Dan sesungguhnya faedah-faedah dari harta dunia akan habis beserta habisnya usia, dan yang tersisa hanya kedhaliman dan dosa-dosanya saja. Maka bagaimana mungkin orang yang memiliki akal sehat akan rela mengambil sesuatu yang rendah sebagai ganti dari sesuatu yang terbaik. Kebaikan seutuhnya adalah keselamatan agama.

    Dalam sebuah hadits di jelaskan,
مَا آمَنَ بِالْقُرْآنِ مَنِ اسْتَحَلَّ مَحَارِمَهُ
 “tidaklah beriman pada Al Qur’an, orang yang menghalalkan hal-hal yang di haramkan di dalamnya.”
Orang yang telah mengetahui bahwa sesungguhnya perkara-perkara ini bisa menyebabkan cacat imannya yang menjadi modal paling berharga di akhirat, maka dia tidak akan menyia-nyiakan modal yang menjadi bekal menjalani hidup yang tidak terbatas, dengan mencari keuntungan yang hanya bisa di manfaatkan beberapa hari saja.

    Sebagian tabi’in berkata, “seandainya aku masuk masjid jami’ yang telah penuh dengan jama’ah, kemudian aku di Tanya, ‘siapakah diantara mereka yang paling baik dan yang paling jelek?’, maka sungguh aku akan menjawab, ‘yang terbaik adalah orang yang paling mengharapkan kebaikan, dan yang terjelek adalah orang yang paling suka menipu’.”

    Menipu hukumnya haram di semua bentuk jual beli dan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Bagi seorang pekerja hendaknya tidak menggampangkan pekerjaannya dengan melakukan hal yang tidak rela jika hal itu di lakukan pada dirinya, akan tetapi hendaknya bekerja dengan baik dan menyempurnakannya, kemudian menjelaskan cacat jika memang ada. Maka dengan demikian dia akan selamat.

    Ada seorang lelaki bertanya pada Hida’ bin Aslam, “bagaimana cara paling selamat yang harus aku lakukan saat menjual sandal?.” Beliau menjawab, “jadikanlah kedua bagian sandal tersebut sama, tidak lebih menggunggulkan bagian kanan daripada bagian kiri. Buatlah bagian dalamnya dari bahan yang baik dan ambilkan dari satu bahan yang sempurna, rapatkanlah jahitannya dan jangan menumpuk satu bagian sandal diatas satunya lagi!.”

 Imam Ahmad ibn Hambl juga pernah di tanya tentang jahitan yang kurang jelas. Beliau menjawab, “tidak halal bagi seorang penjual untuk menyamarkan jahitan seperti itu, jahitan seperti itu hanya halal di lakukan oleh penjahit, jika dia mengetahui bahwa penjualnya akan menjelaskan jahitan tersebut, atau dia tidak ingin menjualnya.”

    Jika kamu berkata, “transaksi tidak akan berjalan / berhasil jika semua orang harus menjelaskan setiap cacat barang jualannya!.” Maka aku menjawab, “tidak mesti demikian, karena syarat seorang pedagang adalah tidak membeli sesuatu untuk di jual kembali kecuali barang-barang baik yang rela jika di gunakan sendiri dan dia tidak perlu menutup-nutupi cacat. Barang siapa terbiasa melakukan seperti ini, maka dia tidak akan membeli barang yang cacat. Jika ternyata dia mendapatkan barang cacat, maka hendaknya dia menjelaskan dan menerima harga yang semestinya.”

Ibn Sirin pernah menjual kambing. Beliau berkata pada pembeli, “aku katakan padamu bahwa kambing ini memiliki cacat yaitu dia suka membalik-balik makanannya dengan kaki ”. Beginilah yang di lakukan oleh para tokoh agama islam.

    Ketiga, tidak menyembunyikan ukuran. Yaitu berbuat adil -menepatkan ukuran- dan berhati-hati dalam menimbang dan menakar. Ketika menakar untuk orang lain maka hendaknya seperti saat dia menerima takaran dari orang lain. Allah Swt berfirman dalam surat Al Muthoffifin ayat 1 – 3 :

Artinya : “ kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.

Seseorang tidak akan selamat dari bahaya ini kecuali dia menambah timbangan saat menjual dan mengurangi timbangan saat membeli. Karena menimbang yang pas secara hakikat itu sangat sulit sekali di lakukan. Agar menghilangkan keraguan, maka hendaknya dengan menambah -saat menjual- dan mengurangi -saat membeli-. Sebab orang yang berusaha mengambil seluruh ukuran haknya, maka dia akan cenderung melampaui batas yang semestinya.

Sebagian ulama’ berkata “ aku tidak akan membeli siksa neraka wail dari Allah dengan harga satu biji makanan.”

Setiap orang yang mencampur makanan dengan tanah atau yang lainya kemudian menakarnya, maka dia termasuk orang-orang yang curang dalam takaran. Setiap jagal -pemotong hewan- yang menimbang daging beserta tulangnya sedangkan hal tersebut tidak berlaku, maka dia termasuk orang yang curang dalam timbangan. Dan samakanlah semua bentuk ukuran dengan hal ini, hingga ukuran yang biasa di lakukan oleh penjual kain, jika membeli maka dia membiarkan kain tersebut terurai tanpa di tarik yang kencang, sedangkan saat menjual maka di tarik sekencang-kencangnya agar ukurannya berbeda dengan saat membeli. Semua ini adalah bentuk kecurangan yang akan mengantarkan pelakunya ke neraka Wail.

Keempat, menyebutkan dengan jujur harga yang berlaku saat itu, dan sama sekali tidak menyembuyikan. Karena sesungguhnya baginda Rosulullah Saw telah melarang untuk menghadang para pedagan dari desa, dan melarang untuk melakukan combe. Yang di maksud dengan menghadang pedagang adalah menghadang  para rombongan pedagang yang baru datang dan membelinya di sertai berdusta atas harga yang berlaku di pasaran.

Sesungguhnya baginda Nabi Saw bersabda,
لَا تَتَلَّقَوْا الرُّكْبَانَ وَمَنْ تَلَقَّاهَا فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ بِالْخِيَارِ بَعْدَ أَنْ يَقْدُمَ السُّوْقَ
“janganlah kalian semua menghadang rombongan pedagang Barang siapa melakukan hal ini maka bagi pemilik dagangan berhak melakukan khiyar -meneruskan atau menggalkan transaksi yang sudah di lakukan- setelah dia mengetahui harga yang berlaku di pasaran!.”

Beliau Nabi Saw juga melarang orang kota untuk menjualkan barangnya orang desa, yaitu ketika ada orang desa datang ke kota dengan membawa makanan yang hendak segera ia jual, kemudian ada orang kota berkata padanya, “biarkan barangmu bersamaku, aku akan menjualnya dengan harga mahal dan aku akan menanti harga naik.” Nabi Saw juga melarang melakukan Najs, yaitu seseorang yang mendatangi penjual di depan orang yang ingin membeli. Orang tersebut menawar dengan harga yang lebih mahal padahal sama sekali dia tidak ingin membeli, dia hanya ingin mendorong agar orang yang di dekatnya itu benar-benar membeli.

Larangan-larangan ini menunjukkan sesungguhnya tidak di perkenankan melakukan penipuan pada penjual dan pembeli tentang harga yang berlaku di pasaran dan menyembunyikan yang sebenarnya. Seandainya pembeli dan penjual itu mengetahui yang sebenarnya, niscaya tidak akan melakukan transaksi tersebut. Perbuatan Najs ini termasuk penipuan yang di haramkan dan bertentangan dengan Nush -mengharapkan kebaikan- yang di wajibkan.

Diantara hal tidak diperkenankan baginya adalah mengambil kesempatan dan mencari kelengahan pemilik barang, menyembunyikan naiknya harga dari pembeli dan turunnya harga dari pembeli. Jika dia tetap melakukannya, maka dia termasuk orang yang dhalim, tidak adil dan tidak mengharapkan kebaikan untuk kaum muslimin. Ketika melakukan jual beli murobahah yaitu dengan mengatakan, “ aku jual barang yang aku miliki atau barang yang telah aku beli”, maka wajib baginya untuk berkata jujur, kemudian wajib memberitahukan apapun yang terjadi setelah akad, baik cacat atau kurang.

(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)

Baca juga artikel kami lainnya :  Perbedaan Nabi dan Rasul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer