(Fasal) menjelaskan hal-hal yang mana akad nikah
tidak bisa sah kecuali dengan hal-hal tersebut.
|
(فَصْلٌ)
فِيْمَا لَا يَصِحُّ النِّكَاحُ إِلَّا بِهِ
|
Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali disertai
dengan wali yang adil.
|
(وَلَا
يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ) عَدْلٍ
|
Dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “dengan
seorang wali laki-laki.”
|
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ بِوَلِيٍّ ذَكَرٍ
|
Hal ini mengecualikan seorang wanita. Karena
sesungguhnya seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri atau orang
lain.
|
وَهُوَ احْتِرَازٌ عَنِ الْأُنْثَى فَإِنَّهَا لَا تُزَوِّجُ
نَفْسَهَا وَلَا غَيْرَهَا
|
Akad nikah juga tidak bisa sah kecuali dengan
hadirnya dua orang saksi yang adil.
|
(وَ)
لَايَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ أَيْضًا إِلَّا بِحُضُوْرِ (شَاهِدَيْ عَدْلٍ)
|
Syarat
Wali dan Saksi
Mushannif menjelaskan syarat masing-masing dari
wali dan dua saksi di dalam perkataan beliau,
|
وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ شَرْطَ كُلٍّ مِنَ الْوَلِيِّ
وَشَاهِدَيْنِ فِيْ قَوْلِهِ:
|
Seorang wali dan dua orang saksi membutuhkan enam
syarat :
|
(وَيَفْتَقِرُ
الْوَلِيُّ وَشَاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شَرَائِطَ)
|
Yang pertama adalah islam. Sehingga wali seorang
wanita tidak boleh orang kafir, kecuali permasalahan yang dikecualikan oleh
mushannif setelah ini.
|
الْأَوَّلُ (الْإِسْلَامُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ
كَافِرًا إِلَّا فِيْمَا يَسْتَثْنِيْهِ الْمُصَنِّفُ بَعْدُ
|
Yang kedua adalah baligh. Sehingga wali seorang
wanita tidak boleh anak kecil.
|
(وَ)
الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ صَغِيْرًا
|
Yang ketiga adalah berakal. Sehingga wali seorang
wanita tidak boleh orang gila, baik gilanya terus menerus atau
terputus-putus.
|
(وَ)
الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ مَجْنُوْنًا سَوَاءٌ
أَطْبَقَ جُنُوْنُهُ أَوْ تَقَطَّعَ
|
Yang ke empat adalah merdeka. Sehingga seorang
wali tidak boleh berupa budak di dalam ijab
(serah) nikah.
|
(وَ)
الرَّابِعُ (الْحُرِّيَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ عَبْدًا فِيْ إِيْجَابِ النِّكَاحِ
|
Seorang budak diperkenankan menjadi orang yang qabul (terima) di dalam akad nikah.
|
وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ قَابِلًا فِيْ النِّكَاحِ
|
Yang ke lima adalah laki-laki. Sehingga seorang
wanita dan khuntsa tidak bisa menjadi wali nikah.
|
(وَ)
الْخَامِسُ (الذُّكُوْرَةُ) فَلَا تَكُوْنَ الْمَرْأَةُ وَالْخُنْثَى وَلِيَّيْنِ.
|
Yang ke enam adalah adil. Sehingga seorang wali
tidak boleh fasiq.
|
(وَ)
السَّادِسُ (الْعَدَالَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ فَاسِقًا
|
Dari keterangan di atas, mushannif mengecualikan
permasalahan yang tercakup di dalam ungkapan beliau,
|
وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنْ ذَلِكَ مَا تَضَمَّنَهُ
قَوْلُهُ
|
Hanya saja, sesungguhnya pernikahan wanita kafir
dzimmi tidak mengharuskan walinya beragama islam.
|
(إِلَّا
أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ
|
Pernikahan seorang budak wanita tidak
mengharuskan majikkannya adil, sehingga hukumnya sah walaupun majikan yang
menikahkannya adalah orang fasiq.
|
وَلَا(يَفْتَقِرُ (نِكَاحُ الْأَمَّةِ
إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ) فَيَجُوْزُ كَوْنُهُ فَاسِقًا
|
Semua syarat yang telah disebutkan di dalam wali
juga disyaratkan di dalam dua saksi nikah.
|
وَجَمِيْعُ مَا سَبَقَ فِيْ الْوَلِيِّ يُعْتَبَرُ فِيْ
شَاهِدَيِ النِّكَاحِ
|
Adapun buta tidak sampai mencacatkan hak menjadi
wali menurut pendapat al ashah.
|
وَأَمَّا الْعَمَى فَلَا يَقْدَحُ فِيْ الْوِلَايَةِ
فِيْ الْأَصَحِّ
|
Urutan
Wali Nikah
Wali-wali yang paling berhak menikahkan adalah
ayah, lalu kakek yang menjadi ayahnya ayah, kemudian ayahnya kakek dan
seterusnya.
|
(وَأَوْلَى
الْوُلَّاةِ) أَيْ أَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ (الْأَبُّ ثُمَّ الْجَدُّ
أَبُوْ الْأَبِّ) ثُمَّ أَبُوْهُ وَهَكَذَا
|
Kakek yang lebih dekat dengan wanita yang hendak
dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh.
|
وَيُقَدَّمُ الْأَقْرَبُ مِنَ الْأَجْدَادِ عَلَى الْأَبْعَدِ
|
Kemudian saudara lelaki seayah seibu (kandung).
Seandainya mushannif mengungkapkan, “asy syaqiq (kandung)”, niscaya lebih
ringkas.
|
(ثُمَّ
الْأَخُّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَلَوْ عَبَّرَ بِالشَّقِيْقِ
لَكَانَ أَخْصَرَ
|
Kemudian saudara lelaki seayah. Lalu anak
laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu walaupun hingga ke bawah.
|
(ثُمَّ
الْأَخُّ لِلْأَبِّ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَإِنْ سَفُلَ
|
Kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki
seayah walaupun hingga ke bawah.
|
(ثُمَّ
ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ) وَإِنْ سَفُلَ
|
Kemudian paman dari jalur ayah yang seayah seibu
(dengan ayah). Lalu paman dari jalur ayah yang seayah (dengan ayah).
|
(ثُمَّ
الْعَمُّ) الشَّقِيْقُ ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِّ
|
Kemudian anak laki-lakinya, maksudnya anak
laki-laki masing-masing dari keduanya walaupun hingga ke bawah sesuai dengan
urutan di atas.
|
(ثُمَّ
ابْنُهُ) أَيِ ابْنُ كُلٍّ مِنْهُمَا وَإِنْ سَفُلَ (عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ)
|
Sehingga anak laki-laki paman yang seayah seibu
lebih didahulukan dari pada anak laki-laki paman yang seayah.
|
فَيُقَدَّمُ ابْنُ الْعَمِّ الشَّقِيْقِ عَلَى ابْنِ
الْعَمِّ لِلْأَبِّ .
|
Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak
ada, maka yang berhak menikahkan adalah majikan laki-laki yang telah
memerdekakannya.
|
(فَإِذَا
عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ) مِنَ النَّسَبِ (فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ) الذَّكَرُ
|
Kemudian ahli ashabah majikan tersebut sesuai
dengan urutan di dalam masalah warisan.
|
(ثُمَّ
عَصَبَاتُهُ) عَلَى تَرْتِيْبِ الْإِرْثِ
|
Adapun majikan wanita yang telah memerdekakan
ketika ia masih hidup, maka yang berhak menikahkan wanita yang telah ia
merdekakan adalah orang yang berhak menikahkan majikan tersebut sesuai dengan
urutan yang telah dijelaskan di dalam urutan wali dari jalur nasab.
|
أَمَّا الْمَوْلَاةُ الْمُعْتِقَةُ إِذَا كَانَتْ حَيَّةً
فَيُزَوِّجُ عَتِيْقَتَهَا مَنْ يُزَوِّجُ الْمُعْتِقَةَ بِالتَّرْتِيْبِ السَّابِقِ
فِيْ أَوْلِيَاءِ النَّسَبِ
|
Jika majikan wanita yang telah memerdekakan
tersebut telah meninggal dunia, maka yang menikahkan wanita yang telah
dimerdekakan olehnya adalah orang yang mendapat waris wala’ dari majikan wanita tersebut, kemudian anak laki-lakinya,
lalu cucu laki-laki dari anak laki-lakinya.
|
فَإِذَا مَاتَتِ الْمُعْتِقَةُ زَوَّجَ عَتِيْقَتَهَا
مَنْ لَهُ الْوَلَاءُ عَلَى الْمُعْتِقَةِ ثُمَّ ابْنُهُ ثُمَّ ابْنُ ابْنِهِ
|
Kemudian seorang hakim berhak menikahkan ketika
wali dari jalur nasab dan wala’
sudah tidak ada.
|
(ثُمَّ
الْحَاكِمُ) يُزَوِّجُ عِنْدَ فَقْدِ الْأَوْلِيَاءِ مِنَ النَّسَبِ وَالْوَلَاءِ
|
Lamaran
Kemudian mushannif beranjak menjelaskan
permasalahan khitbah (melamar).
Lafadz “al khitbah” dengan terbaca kasrah huruf kha’nya.
|
ثُمَّ شَرَعَ الْمُصَنِّفُ فِيْ بَيَانِ الْخِطْبَةِ
بِكَسْرِ الْخَاءِ
|
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki yang
melamar seorang wanita untuk menikah.
|
وَهِيَ الْتِمَاسُ الْخَاطِبِ مِنَ الْمَخْطُوْبَةِ النِّكَاحَ
|
Mushannif berkata, “tidak diperkenankan melamar
wanita yang sedang menjalankan iddah wafat, talak ba’in dan talak roj’i,
dengan bahasa sharih
(terang-terangan).
|
فَقَالَ (وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يُصَرِّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ)
عَنْ وَفَاةٍ أَوْ طَلَاقٍ بَائِنٍ أَوْ رَجْعِيٍّ
|
Sharih adalah bahasa yang secara tegas menunjukkan
keinginan untuk meminang, seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang
menjalankan iddah, “aku ingin menikahi
kamu.”
|
وَالتَّصْرِيْحُ مَا يَقْطَعُ بِالرَّغْبَةِ فِيْ النِّكَاحِ
كَقَوْلِهْ لِلْمُعْتَدَّةِ "اُرِيْدَ نِكَاحُكَ"
|
Jika seorang wanita yang sedang iddah namun bukan
iddah talak raj’i, maka
diperkenankan melamarnya dengan ta’ridl
(bahasa sindiran), dan menikahinya setelah iddahnya selesai.
|
(وَيَجُوْزُ)
إِنْ لَمْ تَكُنِ الْمُعْتَدَّةُ عَنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ (أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا)
بِالْخِطْبَةِ (وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا)
|
Ta’ridl adalah ungkapan yang tidak secara tegas
menunjukkan keinginan untuk menikahinya akan tetapi hanya ihtimal (mirip-mirip) saja, seperti
ungkapan seorang lelaki yang ingin melamar pada seorang wanita, “banyak sekali laki-laki yang menyukaimu.”
|
وَالتَّعْرِيْضُ مَا لَا يَقْطَعُ بِالرَّغْبَةِ فِيْ
النِّكَاحِ بَلْ يَحْتَمِلُهَا كَقَوْلِ الْخَاطِبِ لِلْمَرْأَةِ "رُبَّ رَاغِبٍ
فِيْكَ"
|
Sedangkan wanita yang terbebas dari hal-hal yang
mencegah untuk menikah dan sebelumnya tidak ada yang melamar, maka
diperkenankan melamarnya dengan bahasa sindiran dan bahasa terang-terangan.
|
أَمَّا الْمَرْأَةُ الْخَلِيَّةُ مِنْ مَوَانِعِ النِّكَاحِ
وَعَنْ خِطْبَةٍ سَابِقَةٍ فَيَجُوْزُ خِطْبَتُهَا تَعْرِيْضًا وَتَصْرِيْحًا
|
Pembagian
Wanita
Wanita terbagi menjadi dua, wanita-wanita janda
dan perawan.
|
(وَالنِّسَاءُ
عَلَى ضَرْبَيْنِ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارٍ)
|
Wanita janda adalah wanita yang keperawanannya
telah hilang sebab wathi’ yang halal atau haram. Sedangkan wanita perawan
adalah sebaliknya.
|
وَالثَّيْبُ مَنْ زَالَتْ بِكَارَتُهَا بِوَطْءٍ حَلَالٍ
أَوْ حَرَامٍ وَالْبِكْرُ عَكْسُهَا
|
Bagi seorang ayah dan kakek -ketika sama sekali
tidak ada ayah atau ayahnya tidak bisa menjadi wali- diperkenankan meng-ijbar (memaksa) anak perawannya untuk
menikah, jika memang memenuhi syarat-syarat ijbar.
|
(فَالْبِكْرُ
يَجُوْزُ لِلْأَبِّ وَالْجَدِّ) عِنْدَ عَدَمِ الْأَبِّ أَصْلًا أَوْ عَدَمِ أَهْلِيَّتِهِ
(إِجْبَارُهَا) أَيِ الْبِكْرِ (عَلَى النِّكَاحِ) إِنْ وُجِدَتْ شُرُوْطُ الْإِجْبَارِ
|
Yaitu calon mempelai wanita belum pernah diwathi’
vaginanya, dan dinikahkan dengan lelaki sepadan dengan mas kawin standar
wanita tersebut yang diambilkan dari mata uang daerah setempat.
|
بِكَوْنِ الزَّوْجَةِ غَيْرَ مَوْطُوْأَةٍ بِقُبُلٍ وَأَنْ
تُزَوَّجَ بِكُفْءٍ بِمَهْرِ مِثْلِهَا مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ
|
Sedangkan wanita janda tidak diperkenankan bagi
walinya menikahkan kecuali setelah wanita tersebut baligh dan memberi izin
dengan ucapan tidak dengan diam saja.
|
(وَالثَّيِّبُ
لَا يَجُوْزُ) لِوَلِيِّهَا (تَزْوِيْجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوْغِهَا وَإِذْنِهَا)
نُطْقًا لَا سُكُوْتًا.
|
(Sumber : Kitab Fathul Qorib)
Baca juga artikel kami lainnya : Takdir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar