(Fasal) menjelaskan hukum-hukum istibra’.
|
(فَصْلٌ)
فِيْ أَحْكَامِ اْلِاسْتِبْرَاءِ
|
Istibra’ secara bahasa adalah mencari kebebasan.
|
وَهُوَ لُغَةً طَلَبُ الْبَرَاءَةِ
|
Dan secara syara’ adalah penantian seorang wanita
sebab baru datangnya kepemilikan pada dirinya, atau hilangnya kepemilikan
dari dirinya, karena unsur ta’abbudi atau
karena membersihkan rahimnya dari janin.
|
وَشَرْعًا تَرَبُّصُ الْمَرْأَةِ بِسَبَبِ حُدُوْثِ الْمِلْكِ
فِيْهَا أَوْ زَوَالِهِ عَنْهَا تَعَبُّدًا أَوْ لِبَرَاءَةِ رَحْمِهَا مِنَ الْحَمْلِ
|
Hukum
Istibra’
Istibra’ wajib dilakukan sebab dua perkara.
|
وَالْاِسْتِبْرَاءُ يَجِبُ بِشَيْئَيْنِ
|
Salah satunya adalah hilangnya firasy (kepemilikan) atas diri budak
wanita. Dan akan dijelaskan di dalam ungkapan matan, “ketika majikan
budak ummu walad meninggal dunia” hingga akhir penjelasannya.
|
أَحَدُهُمَا زَوَالُ الْفِرَاشِ وَسَيَأْتِيْ فِيْ قَوْلِ
الْمَتْنِ وَإِذَا مَاتَ سَيِّدُ أُمِّ الْوَلَدِ إِلَخْ
|
Sebab yang kedua adalah baru datangnya
kepemilikan -atas diri budak wanita-. Dan mushannif menjelaskannya di dalam
perkataan beliau,
|
وَالسَّبَبُ الثَّانِيْ حُدُوْثُ الْمِلْكِ وَذَكَرَهُ
الْمُصَنِّفُ فِيْ قَوْلِهِ
|
Barang siapa baru memiliki budak wanita dengan
cara membeli yang sudah tidak ada hak khiyar
lagi, dengan warisan, wasiat, hibbah, atau yang lain dari cara-cara
kepemilikan atas diri si budak wanita dan budak wanita tersebut bukanlah
istrinya, ketika hendak mewathinya, maka bagi dia haram bersenang-senang
dengan budak wanita tersebut hingga ia melakukan istibra’ padanya.
|
(وَمَنِ
اسْتَحْدَثَ مِلْكَ أَمَّةِ) بِشِرَاءٍ لَا خِيَارَ فِيْهِ أَوْ بِإِرْثٍ أَوْ وَصِيَّةٍ
أَوْ هِبَّةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ طُرُقِ الْمِلْكِ لَهَا وَلَمْ تَكُنْ زَوْجَتَهُ
(حَرُمَ عَلَيْهِ) عِنْدَ إِرَادَةِ وَطْئِهَا (الْاِسْتِمْتَاعُ بِهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
|
Jika budak wanita tersebut termasuk golongan
wanita yang memiliki haidl, maka dengan satu kali haidl.
|
إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ بِحَيْضَةٍ)
|
Walaupun dia masih perawan, walaupun sudah
diistibra’ oleh penjualnya sebelum dijual, dan walaupun kepemilikannya
perpindah dari anak kecil atau majikan wanita.
|
وَلَوْ كَانَتْ بِكْرًا وَلَوِ اسْتَبْرَأَهَا بَائِعُهَا
قَبْلَ بَيْعِهَا وَلَوْ كَانَتْ مُنْتَقِلَةً مِنْ صَبِيٍّ أَوِ امْرَأَةٍ.
|
Jika budak wanita tersebut termasuk golongan
wanita yang memakai perhitungan bulan, maka ‘iddahnya adalah satu bulan saja.
|
(وَإِنْ
كَانَتْ) الْأَمَّةُ (مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُوْرِ)
فَعِدَّتُهَا بِشَهْرٍ فَقَطْ
|
Jika budak wanita tersebut termasuk dari wanita
hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan.
|
وَ إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ) فَعِدَّتُهَا
(بِالْوَضْعِ)
|
Ketika seseorang membeli istrinya yang berstatus
budak, maka disunnahkan baginya untuk melakukan istibra’ pada istrinya tersebut.
|
وَإِذَا اشْتَرَى زَوْجَتَهُ سُنَّ لَهُ اسْتِبْرَاؤُهَا
|
Adapun budak perempuan yang telah dinikahkan atau
sedang melaksanakan ‘iddah, ketika seseorang membelinya, maka tidak wajib
melakukan istibra’ padanya seketika
itu.
|
وَأَمَّا الْأَمَّةُ الْمُزَوَّجَةُ أَوِ الْمُعْتَدَّةُ
إِذَا اشْتَرَاهَا شَخْصٌ فَلَا يَجِبُ اسْتِبْرَاؤُهَا حَالًا
|
Kemudian, ketika ikatan pernikahan dan ‘iddahnya
telah hilang semisal budak wanita tersebut ditalak sebelum dijima’ ataupun
setelahnya dan ‘iddahnya telah selesai, maka pada saat itulah wajib melakukan
istibra’.
|
فَإِذَا زَالَتِ الزَّوْجِيَّةُ وَالْعِدَّةُ كَأَنْ
طُلِقَتِ الْأَمَّةُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ أَوْ بَعْدَهُ وَانْقَضَتِ الْعِدَّةُ وَجَبَ
الْاِسْتِبْرَاءُ حِيْنَئِذٍ
|
Ketika majikan budak ummu walad meninggaldunia
dan ia tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak pula dalam pelaksanaan ‘iddah
nikah, maka wajib baginya melakukan istibra’ pada dirinya sendiri seperti
halnya budak wanita.
|
(وَإِذَا
مَاتَ سَيِّدُ أُمِّ الْوَلَدِ) وَلَيْسَتْ فِيْ زَوْجِيَّةٍ وَلَا عِدَّةِ نِكَاحٍ
(اسْتَبْرَأَتْ) حَتْمًا (نَفْسَهَا كَالْأَمَّةِ)
|
Maksudnya, istibra’
yang dia lakukan adalah dengan satu bulan jika ia termasuk wanita-wanita yang
menggunakan penghitungan bulan. Jika tidak, maka dengan satu kali haidl jika
memang termasuk wanita-wanita yang menggunakan penghitungan masa suci.
|
أَيْ فَيَكُوْنُ اسْتِبْرَاؤُهَا بِشَهْرٍ إِنْ كَانَتْ
مِنْ ذَوَاتِ الْأَشْهُرِ وَإِلَّا فَبِحَيْضَةٍ إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ
|
Seandainya sang majikan melakukan istibra’ terhadap budak wanitanya yang
pernah dijima’ kemudian ia merdekakan, maka bagi sang budak tidak wajib
melakukan istibra’, dan baginya
diperkenankan menikah seketika itu juga.
|
وَلَوِ اسْتَبْرَأَ السَّيِّدُ أَمَّتَهُ الْمَوْطُوْأَةَ
ثُمَّ أَعْتَقَهَا فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا وَلَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ فِيْ الْحَالِ.
|
(Sumber : Kitab Fathul Qorib)
Baca juga artikel kami lainnya : Sejarah Perkembangan Manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar