(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ‘iddah dan
macam-macam mu’taddah (wanita yang
menjalankan ‘iddah).
|
(فَصْلٌ)
فِيْ أَحْكَامِ الْعِدَّةِ وَأَنْوَاعِ الْمُعْتَدَّةِ
|
‘Iddah secara bahasa adalah kalimat isim dari fi’il
madli “i’tadda.”
|
وَهِيَ لُغَةً الْاِسْمُ مِنْ اعْتَدَّ
|
Dan secara syara’ adalah penantian seorang
perempuan dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam rentan waktu tersebut
bahwa kandungannya telah bersih, dengan beberapa masa suci, beberapa bulan atau
melahirkan kandungan.
|
وَشَرْعًا تَرَبُّصُ الْمَرْأَةِ مُدَّةً يُعْرَفُ فِيْهَا
بَرَاءَةُ رَحْمِهَا بِأَقْرَاءٍ أَوْ أَشْهُرٍ أَوْ وَضْعِ حَمْلٍ
|
Macam-Macam
Mu’taddah (Wanita Yang Menjalankan ‘Iddah)
Wanita mu’taddah
ada dua macam, yaitu mu’taddah mutawaffa
‘anha zaujuha (yang ditinggal mati suami) dan mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha
zaujuha (yang tidak ditinggal mati suami).
|
(وَالْمُعْتَدَّةُ
عَلَى ضَرْبَيْنِ مُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا (وَغَيْرُ مُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا
|
Mu’taddah Mutawaffa‘Anha Zaujuha
Untuk mu’taddah
mutawaffa ‘anha zaujuha, jika berstatus merdeka dan sedang hamil, maka
‘iddahnya sebab wafatnya sang suami adalah dengan melahirkan kandungan secara
utuh hingga kandungan yang berupa dua anak kembar dengan syarat dimungkinkan
nasab sang anak bersambung pada suami yang meninggal dunia walaupun hanya
kemungkinan saja seperti anak yang dinafikan dengan sumpah li’an.
|
فَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا)إِنْ كَانَتْ) حُرَّةً
(حَامِلًا فَعِدَّتُهَا) عَنْ وَفَاةِ زَوْجِهَا (بِوَضْعِ الْحَمْلِ) كُلِّهِ حَتَّى
ثَانِيَ تَوْأَمَيْنِ مَعَ إِمْكَانِ نِسْبَةِ الْحَمْلِ لِلْمَيِّتِ وَلَوْ احْتِمَالًا
كَمَنْفِيٍّ بِلِعَانٍ
|
Sehingga, seandainya ada anak kecil meninggal
dunia yang tidak mungkin bisa memiliki keturunan dan meninggalkan istri yang
sedang hamil, maka ‘iddahnya sang istri adalah dengan melewati beberapa
bulan, tidak dengan melahirkan kandungan.
|
فَلَوْ مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُوْلَدُ لِمِثْلِهِ عَنْ حَامِلٍ
فَعِدَّتُهَا بِالْأَشْهُرِ لَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ
|
Jika mu’taddah
mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil, maka masa
‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sepuluh malam.
|
(وَإِنْ
كَانَتْ حَائِلًا فَعِدَّتُهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ) مِنَ الْأَيَّامِ بِلَيَالِيْهَا
|
Empat bulan tersebut dihitung sesuai dengan perhitungan
tanggalan yang memungkinkan, dan untuk tanggal bulan yang tidak utuh, maka
disempurnakan menjadi tiga puluh hari.
|
وَتُعْتَبَرُ الْأَشْهُرُ بِالْأَهِلَّةِ مَا أَمْكَنَ
وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا
|
Mu’taddah
Ghairu Mutawaffa ‘Anha Zaujuha
Untuk mu’taddah
ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya
dengan melahirkan kandungan yang bisa dihubungkan nasabnya pada suami yang
memiliki ‘iddah tersebut.
|
(وَغَيْرُ
الْمُتَوْفَى عَنْهَا) زَوْجُهَا (إِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَعِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ)
الْمَنْسُوْبِ لِصَاحِبِ الْعِدَّةِ.
|
Jika mu’taddah
ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil dan ia
termasuk golongan wanita yang memiliki / memungkinkan haidl, maka ‘iddahnya
adalah tiga kali aqra’, yaitu tiga
kali suci.
|
(وَإِنْ
كَانَتْ حَائِلًا وَهِيَ مِنْ ذَوَاتِ) أَيْ صَوَاحِبِ (الْحَيْضِ فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ
قُرُوْءٍ وَهِيَ الْأَطْهَارُ)
|
Jika ia tertalak saat dalam keadaan suci dengan
arti setelah tertalak masih berada dalam waktu suci, maka ‘iddahnya habis
dengan mengalami haidl yang ketiga.
|
وَإِنْ طُلِقَتْ طَاهِرًا بِأَنْ بَقِيَ مِنْ زَمَنِ
طُهْرِهَا بَقِيَّةٌ بَعْدَ طَلَاقِهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالطَّعْنِ فِيْ حَيْضَةٍ
ثَالِثَةٍ
|
Atau tertalak saat dalam keadaan haidl atau
nifas, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ke empat.
|
أَوْ طُلِقَتْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا
بِطَعْنِهَا فِيْ حَيْضَةٍ رَابِعَةٍ
|
Sedangkan sisa masa haidlnya tidak terhitung masa
suci.
|
وَمَا بَقِيَ مِنْ حَيْضِهَا لَا يُحْسَبُ قُرْأً
|
Jika mu’taddah
ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha tersebut masih kecil atau sudah besar dan
sama sekali belum pernah haidl dan belum mencapai usia ya’si (monupause), atau dia adalah wanita yang sedang mengalami mutahayyirah (bingung akan haidl dan
sucinya) atau sudah mencapai usia monupause,
maka ‘iddahnya adalah tiga bulan sesuai tanggal jika talaknya bertepatan
dengan awal bulan.
|
(وَإِنْ
كَانَتْ) تِلْكَ الْمُعْتَدَّةُ (صَغِيْرَةً) أَوْ كَبِيْرَةً لَمْ تَحِضْ أَصْلًا
وَلَمْ تَبْلُغْ سِنَّ الْيَأْسِ أَوْ كَانَتْ مُتَحَيِّرَةً (أَوْ آيِسَةً فَعِدَّتُهَا
ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ) هِلَالِيَّةٍ إِنِ انْطَبَقَ طَلَاقُهَا عَلَى أَوَّلِ الشَّهْرِ
|
Sehingga, jika ia tertalak di tengah bulan, maka
‘iddahnya adalah dua bulan setelahnya sesuai dengan tanggal dan untuk jumlah
bulan yang tidak utuh disempurnakan menjadi tiga puluh hari dari bulan ke
empat.
|
فَإِنْ طُلِقَتْ فِيْ أَثْنَاءِ شَهْرٍ فَبَعْدَهُ هِلَالَانِ
وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا مِنَ الشَّهْرِ الرَّابِعِ
|
Jika mu’taddah
ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha -yang telah disebutkan ini- mengalami
haidl di saat menjalankan ‘iddah dengan penghitungan bulan, maka wajib bagi
dia melakukan ‘iddah dengan penghitungan masa suci.
|
فَإِنْ حَاضَتِ الْمُعْتَدَةُ فِيْ الْأَشْهُرِ وَجَبَ
عَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِالْأَقْرَاءِ
|
Atau mengalami haidl setelah selesai menjalankan
‘iddah dengan penghitungan beberapa bulan, maka ia tidak wajib menjalankan
‘iddah lagi dengan penghitungan masa suci.
|
أَوْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْأَشْهُرِ لَمْ تَجِبِ الْأَقْرَاءُ.
|
Wanita yang tertalak sebelum sempat dijima’, maka
tidak ada kewajiban ‘iddah bagi wanita tersebut.
|
(وَالْمُطَلَّقَةُ
قَبْلَ الدُّخُوْلِ بِهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا)
|
Baik sang suami sudah pernah berhubungan badan
dengannya selain pada bagian farji ataupun tidak.
|
سَوَاءٌ بَاشَرَهَا الزَّوْجُ فِيْمَا دُوْنَ الْفَرْجِ
أَمْ لاَ
|
‘Iddahnya
Budak Wanita
‘Iddahnya budak wanita yang sedang hamil ketika
tertalak raj’i atau ba’in adalah dengan melahirkan kandungan dengan syarat
anak tersebut bisa dihubungkan nasabnya pada lelaki yang memiliki ‘iddahnya
(suami yang mentalak).
|
(وَعِدَّةُ
الْأَمَّةِ) الْحَامِلِ إِذَا طُلِّقَتْ طَلَاقًا رَجْعِيًّا أَوْ بَائِنًا (بِالْحَمْلِ)
أَيْ بِوَضْعِهِ بِشَرْطِ نِسْبَتِهِ إِلَى صَاحِبِ الْعِدَّةِ
|
Ungkapan mushannif “seperti ‘iddahnya wanita merdeka
yang sedang hamil” maksudnya di dalam semua hukum yang telah dijelaskan di
depan.
|
وَقَوْلُهُ (كَعِدَّةِ الْحُرَّةِ) الْحَامِلِ أَيْ فِيْ
جَمِيْعِ مَا سَبَقَ
|
Dan jika ‘iddah dengan beberapa masa suci, maka
budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah dengan dua kali masa suci.
|
(وَبِالْأَقْرَاءِ
أَنْ تَعْتَدَّ بِقُرْأَيْنِ)
|
Budak wanita muba’adl, mukatab, dan ummu walad
hukumnya seperti budak wanita yang murni.
|
وَالْمُبَعَّضَةُ وَالْمُكَاتَبَةُ وَأُمُّ الْوَلَدِ
كَالْأَمَّةِ.
|
Jika budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah
dengan penghitungan bulan sebab ditinggal mati suami, maka ‘iddahnya dengan
dua bulan lima hari.
|
(وَبِالشُّهُوْرِ
عَنِ الْوَفَاةِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرَينِ وَخَمْسِ لَيَالٍ
|
‘Iddahnya budak wanita sebab talak adalah ‘iddah
dengan satu bulan setengah, yaitu separuh dari ‘iddahnya wanita merdeka.
|
وَ) عِدَّتُهَا (عَنِ الطَّلَاقِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرٍ
وَ نِصْفٍ) عَلَى النِّصْفِ
|
Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah
dua bulan, dan ungkapan imam al Ghazali menetapkan keunggulan pendapat ini.
|
وَفِيْ قَوْلٍ شَهْرَانِ وَكَلَامُ الْغَزَالِيِّ يَقْتَضِيْ
تَرْجِيْحَهُ
|
Sedangkan mushannif hanya menjadikan dua bulan
sebagai bentuk yang lebih utama saja, sehingga beliau berkata, “sehingga, jika budak wanita itu
melaksanakan ‘iddah dengan dua bulan, maka itu lebih utama.”
|
وَأَمَّاالْمُصَنِّفُ فَجَعَلَهُ أَوْلَى حَيْثُ قَالَ
(فَإِنِ اعْتَدَّتْ بِشَهْرَيْنِ كَانَ أَوْلَى)
|
Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah
tiga bulan, dan ini adalah yang lebih hati-hati sebagaimana yang disampaikan
oleh imam asy Syafi’i Ra.
|
وَفِيْ قَوْلٍ عِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَهُوَ
الْأَحْوَطُ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
|
Dan ini pendapat yang diikuti oleh beberapa
golongan al ashhab[1].
|
وَعَلَيْهِ جَمْعٌ مِنَ الْأَصْحَابِ.
|
[1] Al ashhab adalah ulama’-ulama’ yang mengikuti madzhab
imam asy syafi’i.
(Sumber : Kitab Fathul Qorib)
Baca juga artikel kami lainnya : Sejarah Perkembangan Manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar