BAB IHYA’ AL MAWAT (MEMBUKA LAHAN)

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ihya’ al mawat.

(فَصْلٌ فِيْ أَحْكَامِ إِحْيَاءِ الْمَوْتِ
Al mawat, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam ar Rafi’i di dalam kitab Asy Syarh ash Shagir, adalah lahan yang tidak berstatus milik dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang.
وَهُوَ كَمَا قَالَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ أَرْضٌ لَا مِلْكَ لَهَا وَلَا يَنْتَفِعُ بِهَا أَحَدٌ


Syarat Ihya’ Mawat

Mengolah bumi mawat hukumnya diperbolehkan dengan dua syarat.

(وَإِحْيَاءُ الْمَوَاتِ جَائِزٌ بِشَرْطَيْنِ)
Salah satunya, orang yang mengolah adalah orang islam.
أَحَدُهُمَا (أَنْ يَكُوْنَ الْمُحْيِيْ مُسْلِمًا)

Maka bagi orang islam hukumnya sunnah mengolah bumi mati, baik dengan izin imam ataupun tidak.

فَيُسَنُّ لَهُ إِحْيَاءُ الْأَرْضِ الْمَيِّتَةِ سَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ الْإِمَامُ أَمْ لَا
Ya Allah, kecuali jika ada hak yang bersinggungan dengan bumi mawat tersebut.
اللَّهُمَّ إِلَّا أَنْ يَتَعَلَّقَ بِالْمَوَاتِ حَقٌّ
Seperti imam membatasi sebagian dari bumi mawat, kemudian ada seseorang yang ingin mengolahnya, maka ia tidak bisa memilikinya kecuali dengan izin dari imam menurut pendapat al ashah.

كَأَنْ حَمَى الْإِمَامُ قِطْعَةً مِنْهُ فَأَحْيَاهَا شَخْصٌ فَلَا يَمْلِكُهَا إِلَّا بِإِذْنِ الْإِمَامِ فِيْ الْأَصَحِّ
Adapun orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan kafir musta’man, maka bagi mereka tidak diperkenankan untuk mengolah bumi mawat walaupun imam telah memberi izin pada mereka.

أَمَّا الذِّمِيُّ وَالْمُعَاهَدُ وَالْمُسْتَأْمَنُ فَلَيْسَ لَهُمُ الْإِحْيَاءُ وَلَوْ أَذِنَ لَهُمُ الْإِمَامُ
Yang ke dua, bumi tersebut harus merdeka -tidak berstatus milik- yang tidak dimiliki oleh orang islam.

(وَ) الثَّانِيْ (أَنْ تَكُوْنَ الْأَرْضُ حُرَّةً لَمْ يَجْرِ عَلَيْهَا مِلْكٌ لِمُسْلِمٍ)
Dalam sebagian redaksi dengan menggunakakan “bumi tersebut adalah bumi merdeka”.

وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ  أَنْ تَكُوْنُ الْأَرْضُ حُرَّةً
Yang dikehendaki dari perkataan mushannif adalah sesungguhnya lahan yang pernah dihuni namun sekarang sudah tidak lagi, maka statusnya adalah milik orang yang memilikinya jika memang diketahui, baik orang islam atau kafir dzimmi. Dan lahan kosong tersebut tidak bisa dimiliki dengan cara diihya’.

وَالْمُرَادُ مِنْ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ أَنَّ مَا كَانَ مَعْمُوْرًا وَهُوَ الْآنَ خَرَابٌ فَهُوَ لِمَالِكِهِ إِنْ عُرِفَ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ ذِمِّيًّا وَلَا يُمْلَكُ هَذَا الْخَرَابُ بِالْإِحْيَاءِ
Sehingga, jika tidak diketahui siapa pemiliknya, namun puing-puingnya menandakan di bangun pada masa islam, maka lahan ini adalah mal dlai’ (harta yang tersia-sia).

فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ مَالِكُهُ وَالْعِمَارَةُ إِسْلَامِيَّةٌ فَهَذَا الْمَعْمُوْرُ مَالٌ ضَائِعٌ
Urusannya diserahkan pada keputusan imam, mau dijaga, atau dijual dan hasil penjualannya dijaga.

الْأَمْرُ فِيْهِ لِرَأْيِ الْإِمَامِ فِيْ حِفْظِهِ أَوْ بَيْعِهِ وَحِفْظِ ثَمَنِهِ
Jika lahan tersebut dikelolah saat masa jahiliyah, maka bisa dimiliki dengan cara diihya’.
وَإِنْ كَانَ الْمَعْمُوْرُ جَاهِلِيَّةً مُلِكَ بِالْإِحْيَاءِ

Cara Ihya’

Cara melakukan ihya’ adalah dengan melakukan sesuatu yang secara adat dianggap bentuk pengolahan terhadap lahan yang diihya’.

(وَصِفَةُ الْإِحْيَاءِ مَا كَانَ فِيْ الْعَادَةِ عِمَارَةً لِلْمُحْيَا)
Dan hal ini berbeda-beda sebab berbeda-bedanya tujuan yang dikehendaki oleh orang yang mengolahnya.

وَيَخْتَلِفُ هَذَا بِاخْتِلَافِ الْغَرَضِ الَّذِيْ يَقْصِدُهُ الْمُحْيِيْ
Jika orang yang mengolah ingin mengolah lahan mawat menjadi sebagai rumah, maka dalam hal ini disyaratkan harus memagari lahan tersebut dengan membangun pagar dengan sesuatu yang terlaku secara adat di tempat tersebut, yaitu berupa bata, batu atau bambu.

فَإِذَا أَرَادَ الْمُحْيِيْ إِحْيَاءَ الْمَوَاتِ مَسْكَنًا اُشْتُرِطَ فِيْهِ تَحْوِيْطُ الْبُقْعَةِ بِبِنَاءِ حِيْطَانِهَا بِمَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ ذَلِكَ الْمَكَانِ مِنْ آجُرٍ أَوْ حَجَرٍ أَوْ قَصْبٍ
Dan juga disyaratkan harus memberi atap diatas sebagian lahan dan memasang pintu.

وَاشْتُرِطَ أَيْضًا سَقْفُ بَعْضِهَا وَنَصْبُ بَابٍ
Jika orang yang mengolah ingin menjadikan mawat sebagai kandang binatang ternak, maka cukup membuat pagar yang lebih rendah dari pagarnya rumah, dan tidak disyaratkan harus membuat atap.

وَإِنْ أَرَادَ الْمُحْيِيْ إِحْيَاءَ الْمَوَاتِ زَرِيْبَةَ دَوَابٍّ فَيَكْفِيْ تَحْوِيْطٌ دُوْنَ تَحْوِيْطِ الْسُّكْنَى وَلَا يُشْتَرَطُ السَّقْفُ
Jika yang mengolah ingin menjadikan mawat sebagai ladang, maka ia harus mengumpulkan tanah di sekelilingnya, meratakan lahan tersebut dengan mencangkul bagian-bagian yang agak tinggi di sana, menimbun bagian-bagian yang berlubang/rendah, mengatur pengairan pada lahan tersebut dengan menggali sumur atau menggali saluran air.

وَإِنْ أَرَادَ الْمُحْيِيْ إِحْيَاءَ الْمَوَاتِ مَزْرَعَةً فَيَجْمَعُ التُّرَابَ حَوْلَهَا وَيُسَوِّيِ الْأَرْضَ بِكَسْحِ مُسْتَعْلٍ فِيْهَا وَطَمِّ مُنْخَفِضٍ وَتَرْتِيْبِ مَاءٍ لَهَا بِشَقِّ سَاقِيَةٍ مِنْ بِئْرٍ أَوْ حَفْرِ قَنَاةٍ
Jika lahan tersebut sudah dicukupkan dengan air hujan yang biasa turun, maka ia tidak butuh untuk mengatur pengairan menurut pendapat yang shahih.

فَإِنْ كَفَاهَا الْمَطَرُ الْمُعْتَادُ لَمْ يَحْتَجْ  لِتَرْتِيْبِ الْمَاءِ عَلَى الصَّحِيْحِ
Jika yang mengolah lahan mawat ingin membuat kebun, maka ia harus mengumpulkan tanah dan membuat pagar di sekeliling lahan kebun tersebut jika memang hal itu telah terlaku. Di samping itu, juga disyaratkan harus menanam sesuatu menurut pendapat al madzhab.
وَإِنْ أَرَادَ الْمُحْيِيْ إِحْيَاءَ الْمَوَاتِ بُسْتَانًا فَجَمْعُ التُّرَابِ وَالتَّحْوِيْطُ حَوْلَ أَرْضِ الْبُسْتَانِ إِنْ جَرَتْ بِهِ عَادَةٌ وَيُشْتَرَطُ مَعَ ذَلِكَ الْغَرْسُ عَلَى الْمَذْهَبِ

Air, Api dan Rumput

Ketahuilah sesungguhnya air yang sudah tertentu untuk seseorang, maka tidak wajib diberikan pada binatang ternak orang lain secara mutlak.

وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَاءَ الْمُخْتَصَّ بِشَخْصٍ لَا يَجِبُ بَذْلُهُ لِمَاشِيَةِ غَيْرِهِ مُطْلَقًا.
Kewajiban memberikan air tersebut hanya diberlakukan dengan tiga syarat.
(وَ) إِنَّمَا (يَجِبُ بَذْلُ الْمَاءِ بِثَلَاثَةِ شَرَائِطَ)
Salah satunya, air tersebut lebih dari kebutuhannya, maksudnya orang yang memiliki air tersebut.

أَحَدُهَا (أَنْ يَفْضُلَ عَنْ حَاجَتِهِ) أَيْ صَاحِبِ الْمَاءِ
Jika air itu tidak lebih, maka ia berhak mendahulukan dirinya sendiri dan tidak wajib memberikannya pada orang lain.

فَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ بَدَأَ بِنَفْسِهِ وَلَا يَجِبُ بَذْلُهُ لِغَيْرِهِ
Yang kedua, air tersebut dibutuhkan oleh orang lain, baik untuk dirinya sendiri atau binatangnya.

(وَ) الثَّانِيْ (أَنْ يَحْتَاجَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ) إِمَّا (لِنَفْسِهِ أَوْ لِبَهِيْمَتِهِ)
Hal ini ketika di sana terdapat padang rumput yang digunakan untuk mengembalakan binatang ternak, dan tidak mungkin mengembala di sana kecuali dengan memberi minum air.
هَذَا إِذَا كَانَ هُنَاكَ كَلَاءٌ تَرْعَاهُ الْمَاشِيَةُ وَلَا يُمْكِنُ رَعْيُهُ إِلَّا بِسَقْيْ الْمَاءِ
Tidak wajib baginya memberikan air untuk tanaman orang lain dan tidak untuk pohonnya orang lain.

وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ بَذْلُ الْمَاءِ لِزَرْعِ غَيْرِهِ وَلَا لِشَجَرِهِ
Yang ketiga, air tersebut masih berada di tempatnya, yaitu tempat keluarnya air baik sumur atau sumber.

(وَ) الثَّالِثُ (أَنْ يَكُوْنَ) الْمَاءُ فِيْ مَقَرِّهِ وَهُوَ (مِمَّا يُسْتَخْلَفُ فِيْ بِئْرٍ أَوْ عَيْنٍ)
Sehingga, ketika air ini sudah diambil di dalam sebuah wadah, maka tidak wajib diberikan menurut pendapat shahih.

فَإِذَا أَخَذَ هَذَا الْمَاءَ فِيْ إِنَاءٍ لَمْ يَجِبْ بَذْلُهُ عَلَى الصَّحِيْحِ
Ketika wajib untuk memberikan air, maka yang dikehendaki dengan ini adalah mempersilahkan binatang ternak orang lain untuk mendatangi sumur, jika pemilik air tidak terganggu pada tanaman dan binatang ternaknya sendiri.

وَحَيْثُ يَجِبُ الْبَذْلُ لِلْمَاءِ فَالْمُرَادُ بِهِ تَمْكِيْنُ الْمَاشِيَةِ مِنْ حُضُوْرِهَا لِلْبِئْرِ إِنْ لَمْ يَتَضَرَّرْ صَاحِبُ الْمَاءِ فِيْ زَرْعِهِ أَوْ مَاشِيَتِهِ
Jika ia terganggu dengan kedatangan binatang ternak tersebut, maka binatang ternak tersebut dicegah untuk mendatangi sumur, dan bagi para pengembalanya yang harus mengambilkan air untuk binatang-binatang ternaknya, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh imam al Mawardi.

فَإِنْ تَضَرَّرَ بِوُرُوْدِهَا مُنِعَتْ مِنْهُ وَاسْتَقَى لَهَا الرُّعَاةُ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ
Sekira wajib memberikan air, maka tidak diperkenankan untuk mengambil upah atas air tersebut menurut pendapat shahih.
وَحَيْثُ وَجَبَ الْبَذْلُ لِلْمَاءِ امْتُنِعَ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَيْهِ عَلَى الصَّحِيْحِ

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Ayat Ayat Setan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer