ETIKA SAAT BEPERGIAN

Ketahuilah sesungguhnya orang yang bepergian untuk mencari ilmu, urusan agama atau mencari harta yang mencukupi untuk menunjang dalam urusan agama, maka dia termasuk orang-orang yang berjalan di jalan akhirat. Namun ada beberapa syarat dan etika saat bepergian yang harus dia penuhi. Karena seandainya di abaikan, niscaya dia termasuk dari golongan pencari harta duniawi dan pengikut syetan. Jika dia selalu memenuhi syarat dan etika tersebut, maka perjalanannya akan di penuhi faedah-faedah yang akan bernilai amal akhirat. Perhatikanlah pembagian safar.

    [bagian pertama] perjalanan mencari ilmu. Adakalanya perjalanan ini hukumnya wajib adapula yang sunnah, semua itu tergantung ilmu yang di cari apakah wajib ataukah sunnah. Adakalanya ilmu yang di cari adalah berhubungan dengan masalah-masalah agama, akhlak atau tanda-tanda kebesaran Allah Swt di muka bumi ini.

Sesungguhnya baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
 “barang siapa keluar dari rumah untuk mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia pulang ke rumah.”

Sahabat Jabir ibn Abdullah Ra rela menempuh perjalanan satu bulan dari kota Madinah hanya karena untuk mendegarkan satu hadits Rosulullah Saw yang di riwayatkan oleh Abdullah ibn Anis Ra.
Imam Asy Syi’bi berkata, “seandainya ada seorang lelaki yang melakukan perjalanan dari kota Syam hingga batas akhir kota Yaman hanya untuk mengetahui satu kalimat yang bisa menunjukkan hidayah padanya, atau menyelamatkannya dari kerusakan, niscaya perjalanannya itu sangatlah ringan dan tidak ada apa-apanya di banding kemanfaatan besar yang di dapatkannya.”

    Adapun ilmu yang berhubungan dengan hati dan akhlak itu sangatlah penting. Karena orang yang tidak mengetahui sifat-sifat jelek di dalam dirinya, maka dia tidak akan mampu membersihkan hati dari sifat-sifat tersebut. Orang yang selalu berada di daerah asalnya tanpa melakukan hal-hal luar, maka perilaku-perilaku buruknya tidak akan nampak, karena sudah merasa terhibur dengan kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan wataknya. Namun ketika hati seseorang di uji dengan bepergian, maka kejelekan-kejelekannya bisa di ketahui sehingga mungkin untuk di hilangkan.

    Adapun tanda-tanda kebesaran Allah Swt di bumi ini maka banyak faedah yang akan di dapatkan oleh orang yang mau merenungkannya. Sebab di sana ada tanah lapang yang membentang, gunung-gunung, hutan belantara, lautan, berbagai macam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dan tidak ada sama sekali dari semua itu kecuali menunjukkan terhadap ke-Esaan Allah Swt.

    [ bagian kedua ] bepergian untuk ibadah haji atau jihad. Dalam sebuah hadits di jelaskan,

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِيْ هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
 “hendaknya rombongan tidak di berangkatkan kecuali menuju tiga masjid, yaitu masjidku ini, Masjidilharam dan Masjidlaqsho”.

    [ bagian ketiga ] bepergian karna menghindari sesuatu yang mengganggu terhadap urusan agama. Perjalanan seperti ini hukumya juga baik, sebab menghindar dari sesuatu yang berat tidak tertahankan adalah sebagian dari sunnah para Nabi dan Rosul. Sesungguhnya termasuk dari kebiasaan ulama’ salaf Ra adalah meninggalkan tanah kelahiran karena khawatir terjadi fitnah.

Di riwayatkan bahwa ada sebagian ulama’ yang di tanya, “anda mau kemana?.”

Beliau menjawab, “aku mendengar ada sebuah desa yang tentram dan aman dari fitnah, aku akan tinggal di sana.”

Kemudian di tanya lagi “apakah anda memang ingin melakukannya?.”

Beliau menjawab, “iya, jika kau mendengar ada desa yang penuh dengan ketenangan dan aman dari fitnah, maka tinggallah di sana, karena sesungguhnya hal itu lebih bisa menyelamatkan agamamu dan lebih meminimalisir keprihatinanmu. Dan perjalanan ini seperti pergi dari harga yang mahal.”

    [ bagian keempat ] bepergian karena menghindari sesuatu yang membahayakan badan seperti peyakit tho’un, atau membayahakan harta seperti mahalnya harga kebutuhan, atau hal-hal yang sesamanya. Perjalanan seperti ini tidaklah bermasalah, bahkan terkadang hukumnya wajib dalam sebagian keadaan, dan terkadang sunnah dalam sebagian keadaan yang lain, tergantung wajib dan sunnahnya dampak dari perjalanan tersebut. Akan tetapi di kecualikan peyakit tho’un, maka hendaknya tidak lari darinya sebab ada larangan melakukannya.

    Secara global, bepergian itu terbagi menjadi bepergian yang tercela, terpuji dan mubah. Bepergian yang tercelah adalah bepergian yang haram seperti bepergian karena durhaka kepada kedua orang tua. Atau bepergian yang makruh seperti keluar dari daerah yang terjangkit wabah tho’un. Bepergian yang sunnah seperti berkunjung pada para ulama` karena untuk belajar akhlak dan etika dari mereka, menggerakan rasa simpatik untuk mengikuti mereka, dan mengambil faedah-faedah ilmiyah dari diri mereka.

Adapun hukum bepergian yang mubah itu di kembalikan kepada niatnya. Semisal bepergian mencari harta dengan tujuan agar tidak meminta-minta, menjaga martabat keluarga, dan mensedekahkan harta yang lebih dari kebutuhan, maka perjalanan mubah ini yang di sertai dengan niat demikian adalah termasuk dari amal perbuatan yang bernilai akhirat.

Seandainya seseorang yang berangkat haji karena ada dorongan riya’ dan pamer, maka sesungguhnya perjalanannya ini keluar dari nilai-nilai amal perbuatan yang bernilai akhirat. Karena sabda Baginda Nabi Muhammad Saw,

الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
 “semua amal perbuatan itu tergantung niatnya.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)

Baca juga artikel kami lainnya :  Kisah 25 Nabi dan Rasul Lengkap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Dakwah Islam - Artikel Populer