Pertama, biaya yang di gunakan haji berupa harta
halal dan tujuannya hanya karena Allah Ta’ala dan mengagungkan tanda-tanda
kebesaran-Nya. Bagi orang yang melaksanakan haji atas nama orang lain, maka
hendaknya bertujuan untuk ziarah ke Baitullah dan menolong saudaranya yang
muslim untuk menggurkan kawajibannya, bukan menjadikannya sebagai pekerjaan dan
lahan perdagangan. Karena hal itu berarti menjadikan agama sebagai perantara
mendapatkan perkara duniawi sehingga dia mencari harta duniawi dengan amal
akhirat. Akan tetapi hendaknya dia menjadikan semua ini untuk menggapai hal
yang bernilai agama yaitu bisa
melaksanakan haji dan ziaroh- dengan perantara sesuatu yang bernilai duniawi.
Kedua,
memperbanyak bekal, rela sepenuh hati ketika menyerahkan harta, menafkahkan
harta tidak terlalu ngirit dan tidak terlalu boros, namun sedang-sedang saja.
Membelanjakan bekal saat perjalanan haji adalah menafkahkan harta di jalan
Allah Azza Wa Jalla.
Sahabat Ibn Umar Ra berkata, “diantara kemuliaan seorang laki-laki adalah membawa bekal yang bagus
saat bepergian ”.
Ketiga,
menghindari rofats -ucapan jelek-, fusuq –maksiat- dan jidal –bertengkar-, sebagaimana yang di jelaskan oleh Al Qur’an. Rofats adalah sebuah kata yang mencakup
segala bentuk ucapan yang tidak berguna dan ucapan tercela. Diantaranya adalah
merayu wanita, ngobrol tentang jima’ dan pemanasannya, karena semua itu bisa
membangkitkan gairah jima’ yang di haramkan. Sesuatu yang mengajak ke perkara
yang haram maka hukumnya adalah haram. Fusuq
adalah sebuah kata yang mencakup segala bentuk perbuatan yang melenceng dari
taat kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Jidal
adalah terlalu berlebihan di dalam berdebat dengan cara yang menyebabkan sakit
hati dan bertentangan dengan akhlak yang mulia. Maka hendaknya tidak terlalu
sering berbuat kasar pada teman, sopir atau yang lainnya, akan tetapi hendaknya
berbuat yang halus adan tawadlu’ kepada orang-orang yang hendak menuju ke
Baitullah Azza Wa Jalla dan selalu menjaga akhlak yang mulia. Akhlak mulia
bukan hanya mencegah perbuatan yang menyakiti orang lain, akan tetapi juga
menahan diri jika di sakiti.
Keempat,
menghindari hal-hal yang biasa di kenakan oleh orang-orang yang
bermegah-megahan dan sombong. Agar dirinya tidak memiliki kecenderungan kepada hal yang terkesan sombong dan
bermegah-megahan, sehingga dia di masukkan pada catatan golongan orang-orang
yang sombong dan di keluarkan dari golongan orang-orang yang sholeh. Dalam
sebuah hadits di sebutkan, “orang yang
haji itu dalam keadaan kusut rambut dan wajahnya.” Allah Swt berfirman
dalam surat Al Hajj ayat 29 :
Artinya : “Kemudian,
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka”.
At tafasts adalah kusut wajah dan
rambutnya. Menghilangkan kusut itu dengan cara mencukur rambut, memotong kumis
dan kuku.
Kelima,
belas kasih pada binatang yang di jadikan kendaraan. Maka hendaknya tidak
memberi muatan terlalu berat yang tidak mampu di tanggungnya, tidak menempuh
perjalanan terlalu jauh dan sesekali
menghentikan perjalanan untuk istirahat, karena berbuat baik pada kendaraannya.
Keenam,
melakukan kurban dengan menyembelih binatang walaupun hukumnya tidak wajib
baginya. Berusaha mencari binatang yang gemuk dan baik, dan memakan sebagian
daging jika memang bukan kurban wajib. Tujuan dari kurban ini bukanlah mencari
dagingnya, akan tetapi tujuannya murni untuk membersihkan hati, mensucikannya
dari sifat kikir dan menghiasinya dengan sifat mengagungkan kepada Allah Swt.
Allah Swt befirman dalam surat Al Hajj ayat 37 :
Artinya : “Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”.
Ketujuh, rela sepenuh hati atas apa yang di
nafkahkan, baik hadyah atau biaya
yang lain, atas apa yang menimpahnya, baik kerugian atau musibah pada harta
atau badan. Karena setiap kesulitan dan kesusahan yang menimpa itu mengandung
pahala yang tidak akan tersisa-sisa sedikitpun di sisi Allah Azza Wa Jalla. Ada
yang mengatakan bahwa di antara tanda haji yang di terima oleh Allah Swt adalah
meninggalkan segala yang bernilai maksiat, mendapat teman-teman yang sholeh
sebagai ganti dari teman-teman yang jelek, dan mendatangi majlis-majlis dzikir dan
ingat kepada Allah dengan meninggalkan majlis-majlis yang tidak berguna serta lupa
kepada Allah Swt.
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 1)
Baca juga artikel kami lainnya : Arti Mukmin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar